CERITA RAKYAT DAERAH PATI
SARIDIN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Sejarah Sastra Lama
Pengampu : Ibu Sumartini
Oleh :
Nama : Gigih Wahyu Wijayanti
NIM :
2101410057
Rombel : 2
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
MAKAM SARIDIN / SYEH JANGKUNG PATI
Makam
Saridin atau terkenal dengan nama Syeh Jangkung konon merupakan salah seorang
murid Sunan Kalijaga (Wali Songo). Makam tersebut terletak di Desa Landoh,
Kecamatan Kayen. Jarak dari kota Pati
kira-kira 17 Km kearah selatan menuju Kabupaten Grobogan. Makam ini
banyak dikunjungi orang setiap hari Jumat Kliwon dan Jumat Legi. Upacara khol
dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu pada bulan Rajab tanggal 14-15
dalam rangka penggantian kelambu makam.
Menurut
cerita Saridin (Syech Jangkung) dilahirkan di Desa Landoh Kiringan Tayu.Setelah
dewasa beliau berkelana di daerah-daerah Pulau Jawa bahkan sampai di Sumatera
untuk menyebarkan Agama Islam. Waktu masih hidup beliau wasiat apabila wafat
agar dimakamkan di Desa Landoh,Kayen. Menurut cerita tutur tinular yang hingga
sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia
disebut-sebut putra salah seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri
bernama Dewi Samaran. Namun, bayi Saridin dilarungkan ke kali. Dan bayi
tersebut memang bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan cukup panjang
muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan dan merawat bayi
Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai saudaranya. Cerita pun
merebak.
Ketika
masa mudanya, Saridin memang suka hidup mblayang (berpetualang) sampai bertemu
dengan Syeh Malaya yang dia akui sebagai guru sejati. Syeh Malaya itu tak lain
adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono, Saridin disebutkan telah menikah
dengan seorang wanita yang hingga sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan
”Mbokne (ibunya) Momok” dan dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak
laki-laki yang diberi nama Momok.
Sampai
pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris atas
satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat. Bagi waris
tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan buah durian yang
jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian yang jatuh pada siang
hari.
Semua
itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur tinular itu pun
melebar pada satu muara tentang ketidakjujuran Branjung terhadap ibunya Momok.
Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok bayangan seekor macan sedang
makan durian yang jatuh. Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan
menggunakan tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam
keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang tak lain
adalah Branjung.
Untuk
menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang disebut pohon durian
satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama salah satu desa di Kecamatan
Kayen, Duren sawit, sebenarnya adalah ibunya Momok, tetapi oleh Branjung justru
dijahili.
Terbunuhnya
Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pati
waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang harus memberlakukan penegakan hukum
dengan keputusan menghukum Saridin karena dinyatakan terbukti bersalah telah
membunuh Branjung.
Meskipun
dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang dibunuh bukan seorang
manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap membuktikan bahwa yang
meninggal adalah Branjung akibat ditombak Saridin. Untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa
Pati.
Sebagai
murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan didorong rasa tak
bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah punya istri dan anak.
Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok mereka.
Suatu
ketika Saridin pergi ke perguruan Kudus. Saridin di perguruan Kudus membuat
jengkel para santri yang merasa diri senior, tetapi juga merepotkan Sunan
Kudus. Sebagai murid baru dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar
ketimbang para santri lain.
Belum
lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi
persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika
beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan. Untuk menguji
kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada
ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan.” Mendengar
jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon
di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin
terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan
Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul. Akan tetapi murid lain
menganggap Saridin lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika
bertugas mengisi bak mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para
santri mempergunakan semua ember untuk mengambil air. Saridin tidak enak hati.
Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia,
sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember
kepada seorang santri. Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan
ada keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air.
Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun
hanya bengong.
Cerita
soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus. Demi menjaga
kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang guru menganggap dia
salah. Dia pun sepantasnya dihukum. Sunan Kudus pun meminta Saridin
meninggalkan perguruan Kudus dan tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi
Kudus. Vonis itu membuat Saridin kembali berulah. Dia unjuk kebolehan. Tak
tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang WC dan berdiam diri di atas tumpukan
ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan perguruan buang hajat,
Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang dia bawa masuk ke lubang WC,
ke bagian paling pribadi wanita itu. Karena terkejut, perempuan itu menjerit.
Jeritan itu hingga menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari,
ternyata itu ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang WC, dia dikeroyok para
santri yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri
menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi
dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali
dengan sang guru sejati, Syekh Malaya. Sang guru menyatakan Saridin terlalu
jumawa dan pamer kelebihan. Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari
sifat itu, dia harus bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa. Padahal,
dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua buah kelapa dia ikat
sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin agar tak tenggelam.
Dalam
cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa di laut dan
hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang. Cerita tidak berhenti
di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya, Saridin disebut-sebut sampai ke
Timur Tengah. Sekembalinya Saridin, ia sudah melakukan jasa. Atas jasanya
menumpas agul-agul siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa
Mataram, Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli. Akan
tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean. Maksudnya, lelaki
yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan badan pasti meninggal.
Dia
harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri
Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi istri sah Saridin
dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin
membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas
sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak
lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam. Sebagai tenaga
bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan seekor kerbau milik seorang
warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh dibilang tidak lagi muda umurnya,
tenaganya sangat diperlukan sehingga hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di
sawah. Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh
tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah
mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Dalam
peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang
sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada
binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh
Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati. Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu
masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil
menghadap Yang Kuasa, kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah
dapat dirobohkan dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak
mempan. Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat
Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher kerbau
itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
Kebiasan
membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah Pati selatan,
termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih terjadi. Lama-kelamaan
kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan menyembelih kerbau hilang. Kembali
ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang
(kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai
meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel. Barangsiapa
memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok
senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan
itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak
bisa putus lehernya. (Alman Eko Darmo-42j)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar