Selasa, 09 April 2013

Karangan Argumentasi

Moral dalam Agen

Usia yang tidak remaja lagi dan juga belum menginjak benar-benar dewasa, itulah mahasiswa. Secara normal, mahasiswa berusia antara 18-22 tahun. Keadaan mahasiswa yang sedang menuju masa dewasa itu membuat mahasiswa mendapat sebutan agent of change atau agen perubahan. Hal itu karena, mahasiswa berpengaruh besar dalam perubahan aspek-aspek yang ada di masyarakat. Kita bisa lihat pengaruh mahasiswa dalam cerminan “ mahasiswa takut dosen, dosen takut dekan, dekan takut rektor, rektor takut menteri, menteri takut presiden, presiden takut mahasiswa”. Dari peryataan itu, mahasiswa menduduki level paling bawah sekaligus paling atas. Dilihat dari segi positif dan dari kesesuaian dengan harapan bangsa serta negara, memang seperti itu. Namun, dalam kenyataan yang ada, mahasiswa tidak bisa menjanjikan perubahan positif yang diharapkan. Hal itu karena moral yang tertanam tidak lagi menjanjikan.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya meliputi akhlak, budi pekerti dan susila. Moral mahasiswa masa kini tidak mencerminkan moral generasi bangsa yang baik. Berhubungan dengan moral ini, dari mahasiswa yang berintelektual tinggi hingga yang biasa-biasa saja, terkadang tidak bisa dibedakan dalam hal moralnya. Hal itu karena, rata-rata gaya hidup, tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang ditunjukkan pada dunia tidak jauh beda. Melihat keadaan yang ada semacam itu, hendaknya tidak hanya pemerintah yang tanggap. Namun, lembaga pendidik khususnya lembaga pendidik setempat yang seharusnya lebih berperan. Lembaga pendidik yang dimaksud bukan hanya guru atau pengajar, namun meliputi lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga, bahkan lingkungan tempat hidup mahasiswa itu sendiri. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan moral, diantaranya melalui pembinaan, seminar, atau pendirian suatu badan organisasi yang khusus untuk wadah itu. Melalui pembinaan, penanam atau pembentuk moral, tidak hanya ceramah panjang lebar, namun lebih ditonjolkan pada kisah-kisah nyata yang berupa film atau video. Sistem ceramah hanya akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Hal itu akan sia-sia belaka.
Sesuai harapan bangsa, mahasiswa yang dianggap sebagai agent of change, harus mampu menjadi filter bangsa dari berbagai elemen khususnya mengenai sosial budaya. Jika sudah seperti itu harapannya, maka secara implisit peranan moral sangat diperlukan. Bisa dibayangkan jika seandainya moral agen bangsa tidak lagi menjurus pada kebaikan, bencana besar akan terjadi secara tidak terduga. Mungkin akan ada lagi perang dunia ketiga dengan tema penjajahan moral bangsa. Hal itu benar-benar akan terjadi jika kondisi moral kita tidak segera diperbaiki.
Sebagai filter, mahasiswa harus mampu berpikir kreatif, mengetahui  pengertian tentang moral, tahu penyebab merosotnya moral, tahu kondisi moral saat ini, dan tahu cara memperbaiki dan menjaga moral mereka. Karena itu semua adalah kunci untuk menjalankan fungsi filter. Supaya mahasiswa tahu hal-hal semacam itu, kembali lagi harus ada pembinaan.  
Pada dasarnya, moral manusia adalah baik, hanya pengaruh dari lingkungan dan media yang membuat image baik itu berubah sebaliknya. Tanpa disadari, sesuatu yang dianggap nyaman dan indah sesungguhnya menyimpan racun yang sewaktu-waktu bisa menyebar. Sekali racun itu menginfeksi sel, jaringan, organ, hingga organisme itu akan terkena dampak yang sama. Sebagai contoh hal yang indah tapi racun adalah kenyamanan hidup anak kos tanpa induk semang. Mereka bisa bebas melakukan apa saja tanpa ada ceramah pedas dari pemilik tetapi, keindahan dan kenyamanan itu akan membuka peluang besar bagi racun untuk menginfeksi. Bisa dipastikan sebagian besar penghuni akan terjerumus dalam kebebasan yang tiada batas. Berawal dari hal kecil semacam itu, maka akan memicu moral yang tidak baik. Moral buruk akan menginfeksi jika kesempatan itu terbuka lebar. Hal semacam itu kini sulit untuk dihindari. Karena itu sudah menjadi budaya dan memang seperti itu adanya. Namun, bukan berarti tidak ada penyelesaian. Jalan keluar yang dapat diambil adalah dengan mendidik dan menanamkan moral yang baik pada para pelaku ( anak-anak kos ).
Realita semacam itu harus segera ditangani dan diambil tindakan lanjut. Untuk lingkungan kampus, pembinaan tidak hanya dapat dilakukan di luar perkulihan, namun juga bisa dilakukan saat jam kuliah. Mengingat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan bahasa. Mata kuliah yang telah disebutkan diatas hendaknya dilaksanakan sesuai tujuan membina moral para mahasiswa bukan hanya semata-mata mengejar materi tanpa mempedulikan praktek yang nyata. Apalah artinya sebuah teori jika tidak terwujud dalam praktek yang memuaskan. Baik dalam berteori belum tentu mahir dalam penerapannya. Alangkah baiknya jika antara teori dan prakteknya seimbang. Jadi, mata kuliah semacam itu, hendaknya lebih ditekannya pada pembinaan sikap dan tingkah laku mahasiswa. Itu adalah salah satu cara yang segera dapat dilakukan karena tanpa ada kendala yang perlu dipikir lebih lanjut dibanding cara-cara yang lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar