Moral dalam Agen
Usia
yang tidak remaja lagi dan juga belum menginjak benar-benar dewasa, itulah
mahasiswa. Secara normal, mahasiswa berusia antara 18-22 tahun. Keadaan
mahasiswa yang sedang menuju masa dewasa itu membuat mahasiswa mendapat sebutan
agent of change atau agen perubahan. Hal
itu karena, mahasiswa berpengaruh besar dalam perubahan aspek-aspek yang ada di
masyarakat. Kita bisa lihat pengaruh mahasiswa dalam cerminan “ mahasiswa takut
dosen, dosen takut dekan, dekan takut rektor, rektor takut menteri, menteri
takut presiden, presiden takut mahasiswa”. Dari peryataan itu, mahasiswa
menduduki level paling bawah sekaligus paling atas. Dilihat dari segi positif
dan dari kesesuaian dengan harapan bangsa serta negara, memang seperti itu. Namun,
dalam kenyataan yang ada, mahasiswa tidak bisa menjanjikan perubahan positif
yang diharapkan. Hal itu karena moral yang tertanam tidak lagi menjanjikan.
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001) moral berarti ajaran baik-buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya
meliputi akhlak, budi pekerti dan susila. Moral mahasiswa masa kini tidak
mencerminkan moral generasi bangsa yang baik. Berhubungan dengan moral ini, dari
mahasiswa yang berintelektual tinggi hingga yang biasa-biasa saja, terkadang
tidak bisa dibedakan dalam hal moralnya. Hal itu karena, rata-rata gaya hidup,
tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang ditunjukkan pada dunia tidak jauh beda.
Melihat keadaan yang ada semacam itu, hendaknya tidak hanya pemerintah yang
tanggap. Namun, lembaga pendidik khususnya lembaga pendidik setempat yang
seharusnya lebih berperan. Lembaga pendidik yang dimaksud bukan hanya guru atau
pengajar, namun meliputi lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga, bahkan
lingkungan tempat hidup mahasiswa itu sendiri. Banyak cara yang dapat dilakukan
dalam rangka menanamkan moral, diantaranya melalui pembinaan, seminar, atau
pendirian suatu badan organisasi yang khusus untuk wadah itu. Melalui
pembinaan, penanam atau pembentuk moral, tidak hanya ceramah panjang lebar,
namun lebih ditonjolkan pada kisah-kisah nyata yang berupa film atau video.
Sistem ceramah hanya akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Hal itu
akan sia-sia belaka.
Sesuai
harapan bangsa, mahasiswa yang dianggap sebagai agent of change, harus mampu menjadi filter bangsa dari berbagai
elemen khususnya mengenai sosial budaya. Jika sudah seperti itu harapannya,
maka secara implisit peranan moral sangat diperlukan. Bisa dibayangkan jika
seandainya moral agen bangsa tidak lagi menjurus pada kebaikan, bencana besar
akan terjadi secara tidak terduga. Mungkin akan ada lagi perang dunia ketiga
dengan tema penjajahan moral bangsa. Hal itu benar-benar akan terjadi jika kondisi
moral kita tidak segera diperbaiki.
Sebagai
filter, mahasiswa harus mampu berpikir kreatif, mengetahui pengertian tentang moral, tahu penyebab
merosotnya moral, tahu kondisi moral saat ini, dan tahu cara memperbaiki dan
menjaga moral mereka. Karena itu semua adalah kunci untuk menjalankan fungsi
filter. Supaya mahasiswa tahu hal-hal semacam itu, kembali lagi harus ada
pembinaan.
Pada
dasarnya, moral manusia adalah baik, hanya pengaruh dari lingkungan dan media yang
membuat image baik itu berubah
sebaliknya. Tanpa disadari, sesuatu yang dianggap nyaman dan indah sesungguhnya
menyimpan racun yang sewaktu-waktu bisa menyebar. Sekali racun itu menginfeksi
sel, jaringan, organ, hingga organisme itu akan terkena dampak yang sama.
Sebagai contoh hal yang indah tapi racun adalah kenyamanan hidup anak kos tanpa
induk semang. Mereka bisa bebas melakukan apa saja tanpa ada ceramah pedas dari
pemilik tetapi, keindahan dan kenyamanan itu akan membuka peluang besar bagi
racun untuk menginfeksi. Bisa dipastikan sebagian besar penghuni akan
terjerumus dalam kebebasan yang tiada batas. Berawal dari hal kecil semacam
itu, maka akan memicu moral yang tidak baik. Moral buruk akan menginfeksi jika
kesempatan itu terbuka lebar. Hal semacam itu kini sulit untuk dihindari. Karena
itu sudah menjadi budaya dan memang seperti itu adanya. Namun, bukan berarti
tidak ada penyelesaian. Jalan keluar yang dapat diambil adalah dengan mendidik
dan menanamkan moral yang baik pada para pelaku ( anak-anak kos ).
Realita
semacam itu harus segera ditangani dan diambil tindakan lanjut. Untuk
lingkungan kampus, pembinaan tidak hanya dapat dilakukan di luar perkulihan,
namun juga bisa dilakukan saat jam kuliah. Mengingat Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan
pendidikan bahasa. Mata kuliah yang telah disebutkan diatas hendaknya
dilaksanakan sesuai tujuan membina moral para mahasiswa bukan hanya semata-mata
mengejar materi tanpa mempedulikan praktek yang nyata. Apalah artinya sebuah teori
jika tidak terwujud dalam praktek yang memuaskan. Baik dalam berteori belum
tentu mahir dalam penerapannya. Alangkah baiknya jika antara teori dan
prakteknya seimbang. Jadi, mata kuliah semacam itu, hendaknya lebih ditekannya
pada pembinaan sikap dan tingkah laku mahasiswa. Itu adalah salah satu cara
yang segera dapat dilakukan karena tanpa ada kendala yang perlu dipikir lebih
lanjut dibanding cara-cara yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar