Selasa, 09 April 2013

Analisis Puisi

BAB I
PENDAHULUAN

I.            Latar Belakang

Di dunia sastra, terdapat beberapa model karya sastra yaitu puisi, prosa, dan drama. Diantara ketig macam karya sastra tersebut, puisi merupakan karya sastra yang paling mengandung unsur keindahan. Hal tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri puisi yaitu menggunakan bahasa pemadatan, pilihan kata juga sangat diperhatikan, dan masih banyak ciri puisi yang lain.
Puisi merupakan salah satu karya seni sastra yang dapat dikaji dari beberapa aspek. Puisi dapat dikaji dari seg struktur dan unsur-unsurnya, mengingat puisi adalah struktur yang terdiri atas bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Puisi juga dapat dikaji dari segi jenis-jenis atau ragamnya. Karena banyaknya unsur yang membangun puisi, maka orang tidak akan mudah memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu merupakan karya estetis yang bermakna dan mempunyai arti. Oleh karena itu, sebelum seseorang melakukan suatu pengapresiasian puisi, maka harus mengetahui unsur-unsur yang membangun sebuah puisi.
Puisi dibangun dari dua unsur, yaitu struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik suatu puisi terdiri atas diksi, bunyi, versivikasi, bahasa kias, tipografi puisi, enjambemen, sarana retorika, dan citraan. Sedangkan struktur batin suatu puisi meliputi nada dan suasana serta makna dan rasa.
Pada makalah ini akan dibahas tentang beberapa macam puisi beserta bentuk apresiasinya berdasarkan struktur fisik dan struktur batin.

II.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi Barangkali karya Amir Hamzah?
2.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi Hanya kepada Tuhan karya Or. Mandank?
3.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi Gembala karya Moh. Yamin?
4.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi diponegoro karya Chairil Anwar?
5.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi Dengan Puisi, Aku karya Taufik Ismail?
6.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi Doa karya Chairil Anwar?
7.      Bagaimana bentuk apresiasi dari puisi Burung Kesunyian karya Jamal D. Rahman?

III.            Tujuan

Untuk mengetahui bentuk apresiasi puisi .























BAB II
ISI

       I.            Puisi Barangkali karya Amir Hamzah
BARANGKALI
(Amir Hamzah)
Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-nipis
Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
Sentuh kecapi firdusi
Dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri



ANALISIS
Puisi di atas merupakan jenis puisi prismatic. Hal itu terlihat dari pilihan diksi yang digunakan kebanyakan mengandung makna kias.
A.    Struktur Fisik

1.      DIKSI
Dalam menulis puisi, pengarang sangat memperhatikan diksi yang akan digunakan. Diksi akan membuat suatu puisi menjadi indah. Selain itu, diksi juga menimbulkan kesan dan makna tersendiri bagi pembaca.
Pada puisi `barangkali` karya Amir Hamzah, penggunaan diksinya sangat bagus dan indah. Pengarang dengan pandainya menggunakan diksi yang menimbulkan makna semakin kuat.  Misalnya pada bait satu disebutkan kata `lena` yang berarti tidur, membuat rangkaian kata dalam satu baris menjadi indah. Antara kata `tidur` dan `lena` mempunyai makna yang sama, namun kata `lena` lebih terkesan lebih indah.  Selain itu, pada baris kedua kata `akasa swaga` mempunyai makna sesuatu yang berhubungan dengan surga. Namun, oleh pengarang kata surga dirasa belum memberikan makna yang membelit, sehingga pengarang menggunakan kata lain yang sama artinya dengan surga. Kata surga sudah umum digunakan, maka akan membuat pembaca dengan mudah mendapatkan makna dari puisi tersebut. Oleh karena itu, pengarang menggunakan permainan kata.
Puisi yang berjudul `barangkali` mencerminkan suatu kehidupan yang romantic. Untuk itu, pengarang berusaha memilih kata yang terkesan indah dan romantis laksana rayuan gombal saat pacaran. Hal itu dibuktikan adanya kata-kata yang romantic yaitu `kudaduhkan` (pada baris kedua bait 3). Kata itu mungkin mengungkapkan tentang tidur atau menidurkan. Tapi untuk menambah kesan romantic, pengarang menggunakan kata yang lain yang semakna dengan tidur.
Masih banyak lagi kata yang menimbulkan efek romantic dari puisi tersebut. Kata itu misalnya `gambuh asmara`, `dara asmara`, dan `pantai hati`. Kata-kata itu mencerminkan rayuan-rayuan gombal dikala orang dilanda asmara, yang mana semua kata-kata diusahakan bermakna kias dan menarik.


2.      BUNYI
Unsur bunyi dalam sebuah puisi akan memberikan efek keindahan tersendiri untuk pembaca. Pada bait ke-2 dan ke-3,

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Pada awal baris dari kedua bait itu terdapat pengulangan bunyi u pada kata kujunjung, kupuji, kupangku, dan kudaduhkan. Kesamaan bunyi yang digunakan menimbulkan kesan indah dan enak dalam pengucapannya. Dari keempat baris yang mempunyai kesamaan bunyi awal tersebut lebih menekankan makna bahwa tokoh yang dimaksud adalah sama. Bunyi ku-. Ku-, ku-, dan ku-, membuat makna semakin tegas.
Kombinasi bunyi juga dimunculkan pada bait ke-4. Pada bait ini, pengarang menampilkan bunyi u pada kata-kata terakhir dari setiap baris. Hal itu menimbulkan keserasian pengucapan kata dalam puisi.

Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
Sentuh kecapi firdusi
Dengan jarimu menirus halus

                        Setelah menggunakan bunyi yang kuat dan bulat yaitu bunyi u, pada bait ke-5 dan ke-6, pengarang menggunakan suara lirih `i` dan dilanjutkan suara lemah `a`.

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri

Bunyi `i` dan `a` yang bergantian muncul menarik perhatian pembaca seolah-olah pengarang menggunakan variasi bunyi untuk mempermainkan penyerapan makna kata oleh pembaca.

3.      VERSIFIKASI (SAJAK, METRUM DAN IRAMA, RIMA, BAIT)
Sajak dalam puisi disebut juga rima yang merupakan ulangan bunyi pada setiap baris dalam puisi. Sajak berfungsi sebagai hiasan suatu puisi. Pada puisi di atas, sajak yang ditampilkan merupakan sajak identic yang terlihat pada kutipan berikut ini.

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Pengulangan bunyi ku- yang diulang secara berurutan memberikan kesan yang cantik pada puisi. Selain itu dalam puisi tersebut juga terdapat asonansi. Misalnya asonansi e`sentuh kecapi`, `gelombang kenang`, dan `selendang dendang`.  Asonansi I `biar siuman`, asonansi a `halus harum`, `swara swarna`, `pantai hati`.
Asonansi-asonansi yang ada pada puisi itu membuat kesan halus, merdu, dan indah. Apalagi suatu karya puisi itu mengandalkan unsur keindahannya. Karena puisi bukan kumpulan kata yang membentuk kalimat melainkan kumpulan kata yang telah dipadatkan. Karena adanya pemadatan kata itu, maka keindahan menjadi unsur yang ditonjolkan.
Pada puisi di atas juga terdapat persamaan rima akhir, yaitu rima akhir I dan rima akhir a. Persajakan vocal ini menimbulkan pola sajak yang indah dalam pengucapan maupun saat didengar.

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Irama pada suatu puisi berhubungan dengan bunyi yang dihasilkan pada saat puisi itu dibacakan. Tinggi rendahnya intonasi, panjang pendeknya pengucapan kata, dan keras lembutnya pengucapan itu berhubungan dengan irama suatu puisi. Irama puisi ada yang beraturan ada juga ynag tidak teratur.
Pada puisi berjudul barangkali di atas, mempunyai irama yang lumayan bervariasi. Hal itu bida dilihat saat kita memaknai kata-kata yang terlihat pada setiap larik. Misalnya pada larik dibawah ini,

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna

Pada dua larik diatas, kita bisa membacanya dengan intonasi yang berbeda atau membuat variasi panjang pendek suara pengucapan dari setiap kata. Misalnya, kata mari menari kita ucapkan dengan nada tinggi dengan bantuan bunyi I, kemudian kata dara asmara kita baca dengan suara pelan atau lembut seakan mendayu dengan bantuan bunyi a. Dengan demikian sudah terlihat irama yang bervariasi dalam satu baris saja. Belum lagi baris yang lainnya.
Selain itu, pada kutipan baris kedua, kombinasi bunyi I, e, kemudian a, merupakan unsur penggerak intonasi yang semakin melembut. Jadi ada penurunan bunyi dalam satu baris tersebut.

4.      BAHASA KIAS
Pada puisi di atas, terdapat bahasa kias yang membuat bermacam penafsiran bagi pembaca. Pengarang menggunakan pengiasan dalam bentuk frase. Hal itu terrekan dalam kata `dara asmara`. Dua kata itu mempunyai satu arti yaitu seorang gadis. Oleh pengarang seorang gadis yang dipuji-puji oleh tokoh aku diibaratkan sebagai dara asmara. Selain itu, pengarang juga mengibaratkan pangkuan sebagai selendang dendang yang dipakai untuk menidurkan si gadis. Seorang gadis yang cantik bermata bening dan indah diibaratkan sebagai mata mutiara oleh pengarang. Pengibaratan ini memperindah makna puisi.
Tidak sekadar mengibaratkan, pengarang juga membandingkan sesuatu yang besar dengan dunia.

Yang besar terangkum dunia

Selain itu, pengarang menggunakan perumpamaan `pantai hati` untuk menggambarkan perasaan seseorang. Pengarang membuat pengiasan sedemikian rupa sehingga puisi terlihat indah. Apalagi puisi di atas bertemakan dengan keromantisan, yang mana romantis berhubungan dengan kata-kata indah yang umumnya penuh dengan rayuan.

5.      TIPOGRAFI PUISI
Pada puisi `barangkali` karya Amir Hamzah, tipografi yang ditampilkan adalah bentuk rata kiri dan lurus bawah. Puisi itu diberi wajah yang sederhana untuk memperkuat makna yang disampaikan, yaitu tentang keromantisan.
Tipografi puisi diatas dibentuk oleh enam bait, yang mana jumlah baris tiap bait berbeda-beda. Pada bait pertama, terdiri atas empat baris yang mana tiap baris mempunyai jumlah kata yang berbeda sehingga menimbulkan tampilan yang tidak rata kana-kiri melainkan hanya rata kiri saja. Pada bait kedua terdiri atas dua baris yang disusun sama seperti bait sebelumnya. Bait ketiga terdiri atas dua baris. Bait ketiga, keempat, dan kelima, masing-masing  terdiri atas empat baris yang disusun sama seperti bait sebelumnya. Antara bait satu dan yang lainnya diberi jeda (spasi). Hal itu sebagai penanda perpindahan bait. Karena mungkin setiap bait mengandung makna yang terpisah.
Jumlah baris dalam satu bait berbeda-beda. Demikan juga jumlah kata dalam satu baris juga berbeda-beda. Hal itu menimbulkan panjang pendeknya tampilan baris. Walaupun baris dibuat rata kiri, namun sebelah kanan terlihat tidak rata (berberaturan). Penampilan yang semacam itu tidak akan membuat pembaca atau penikmat puisi bosan.
Puisi yang berjudul barangkali karya Amir Hamzah, ditulis dengan menggunakan awalan huruf kapital tanpa diakhiri tanda baca. Jadi, kita harus memiliki kreatifitas sendiri memberi intonasi pada akhir baris saat membaca.

6.      ENJAMBEMEN
Enjambemen adalah pemenggalan makna pada puisi. Pada dasarnya, satu baris atau satu bait puisi bukan merupakan satu kalimat yang utuh, namun memiliki makna yang berlainan dan belum tentu satu kesatuan makna. Oleh pengarang, jika makna yang ditampilkan tidak berhubungan, maka pengarang memilih pergantian baris. Misalnya terlihat pada kutipan berikut ini :

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Pada kutipan di atas, pengarang menceritakan kegiatan seseorang yang menjunjung, memuji, memangku, dan menidurkan (mendaduhkan). Hal itu merupakan penggambaran satu peristiwa pada satu waktu yang dilakukan oleh orang yang sama, yaitu tokoh aku. Namun, oleh pengarang hal itu tidak dijadikan dalam satu baris. Sesuai hak yang dimiliki oleh pengarang, amir Hamzah memenggal setiap macam aktivitas. Hal ini bermaksud untuk mengganti kata penghubung `dan`. Tanpa menampilkan kata penghubung, pengarang bermaksud memberi tahu pembaca bahwa kegiatan itu berkelanjutan. Dan hal itu dilakukan pengarang dengan memenggal uraian kata ke baris berikutnya.



7.      SARANA RETORIKA
Untuk menekankan makna puisi tanpa mengurangi unsur keindahan puisi, pengarang menggunakan sarana retorika. Sarana retorika pada umumnya berupa majas atau sesuatu yang tidak bermakna lugas.
Amir Hamzah dalam berpuisi menggunakan sarana retorika yang unik dan indah. Beliau tidak hanya menggunakan satu atau dua majas saja sebagai unsur pembentuk sarana retorika, namun pada puisi yang dibuatnya mengandung beberapa majas, diantaranya majas perulangan, hiperbola, personifikasi, dan metafora.
Majas perulangan bisa dilihat pada kutipan dibawah ini :

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Pada kutipan di atas, kita lihat adanya pengulangan suku kata yaitu suku kata ku- yang terletak pada awal baris. Pengulangan suku kata itu, menekankan pada makna bahwa tokoh yang digambarkan dalam puisi itu benar-benar cinta.
Selain itu, kita juga bisa melihat penggunaan majas hiperbola pada kutipan berikut

Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis

Gelombang kenang membanting diri

Beberapa rangkaian kata yang terdapat pada tiga baris puisi di atas menimbulkan majas hiperbola yang maknanya berlebihan. Hal itu dianggap berlebihan karena susunan kata dan pemilihan kata yang digunakan sangat berlebihan maknanya. Misalnya sesuatu yang besar kita bayangkan seperti suatu benda yang dirangkum dunia. Hal itu melebih-lebihkan besarnya benda atau sesuatu yang dimaksud. Selain itu, pada kata ` gelombang membanting diri `, seakan-akan kita sangat bersalah sehingga terbanting oleh gelombang yang posisinya tidak berada disembarang tempat. Selain bermakna hiperbola, kata itu juga menimbulkan majas personifikasi yang menggambarkan suatu benda berupa ombak yang statusnya benda mati bisa membanting diri seseorang. Hal itu memang bukan hal yang baru, namun seolah-olah ombak diposisikan oleh pengarang sebagai ajang mengadili.
Pada puisi di atas juga banyak ditampilkan rangkaian kata yang menggunakan majas metafora. Majas metafora memang cocok untuk suatu puisi yang bertemakan cinta atau sesuatu yang romantis. Kata-kata yang menyatakan majas metafora yaitu:

Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-nipis

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Barangkali mati di pantai hati


8.      CITRAAN
Untuk menimbulkan unsur keindahan, pengarang menggunakan sarana pencitraan dalam seatu puisi. Citraan itu meliputi pemanfaatan alat indera kita. Citraan meliputi citraan penglihatan, pendengaran, perabaan, perasaan, dan peniuman.
Pada puisi `barangkali` karya Amir Hamzah, terdapat beberapa citraan diantaranya adalah citraan penglihatan (visual). Hal itu ditunjukkan pada baris :

Engkau yang lena dalam hatiku

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Bangkit gunung
Buka mata-mutiara-mu
Sentuh kecapi firdusi
Dengan jarimu menirus halus

Rangkaian kata yang terlihat di atas merupakan beberapa wakil kata yang lain yang mencerminkan citraan visual. Pada setiap rangkaian kata dalam stiap baris, membuat kita seakan-akan melihat kejadian yang digambarkan. Orang yang tertidur, orang yang menjunjung, orang yang memuji, yang terekam dalam tiga baris awal dalam kutipan diatas membuat kita membayangkan dan seolah-olah kita melihat hal itu. Melalui citraan yang ada, kita seakan-akan menjadi pengamat perilaku tokoh dan menjadi penonton aktivitas tokoh dalam puisi.
Pada empat baris terakhir yang ada dalam kutipan di atas, kita dapat melihat bagaimana seorang pengarang mengajak pembaca untuk ikut menikmati keindahan dari gunung dan permainan kecapi jari-jari halus seorang gadis.
Selain citraan penglihatan atau visual, pengarang juga menggunakan citraan pendengaran atau audio. Hal itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini.

Biar terdengar swara swarna
(bait 6)

            Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat ikut membayangkan betapa merdunya suara yang dinyanyikan oleh gadis yang diceritakan oleh pengarang dalam baris sebelumnya.  Selain itu juga ada kombinasi dua citraan yaitu citraan perabaan dan penciuman. Hal itu terekan dalam rangkaian kata di bawah ini,

Halus harum mengasap keramat

Citraan-citraan yang ditampilkan oleh pengarang akan membuat pembaca lebih meresapi maksud yang akan disampaikanpengarang pada pembaca. Selain itu, pembaca juga akan mendapatkan kesan tersendiri akan citraan yang dia buat berdasarkan apa yang dia baca.






B.     Struktur Batin

1.      MAKNA DAN RASA
Makna yang terdapat dalam puisi di atas bisa dilihat dari setiap kata maupun dalam satu baris. Misalnya pada bait kedua dan ketiga, kita dapat menarik makna sekaligus pada setiap baris bukan tiap kata.

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah

Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Pada beberapa baris di atas kita dapat menyimpulkan makna dari bahwa tokoh aku yang ditampilkan dalam puisi itu sedang memuja-muja sosok orang (gadis) yang ia cintai. Dia junjung tinggi, ia puji, ia peluk, dan bahkan ia selalu ada sampai si gadis menutup mata. Jadi, empat baris di atas mengandung satu makna yang berkesinambungan.
Selain mengandung makna, puisi itu juga mengandung nilai rasa. Rasa yang ditimbulkan oleh puisi itu merupakan rasa cinta yang romantic dari tokoh aku kepada seorang gadis. Si aku terlihat sangat menikmati perasaan cintanya. Hal itu diwujudkan dengan rangkaian kata yang mengandung makna memuja-muja si gadis.

2.      NADA DAN SUASANA
Nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi. Nada yang ditimbulkan oleh penyair adalah nada santai. Dalam puisinya, penyair ingin bercerita tentang kisah cinta tokoh aku kepada seorang gadis. Tokoh aku selalu melakukan kegiatan yang romantic, mendayu-dayu, merayu, sehingga puisi itu terkesan santai. Penyair berusaha memberitahu pembaca tentang tanda-tanda orang yang kasmaran. Bagi penyair, cinta adalah sesuatu yang sangat berharga. Anggapan semacam itu penyair utarakan kepada pembaca melalui rangkaian kata-katanya.
Jika nada yang ditampilkan pada puisi itu adalah nada santai, maka suasana yang hadir juga tidak jauh beda. Setelah membaca puisi itu dan mendapatkan makna yang terkandung, maka pembaca akan merasakan betapa indahnya merasakan cinta kasih kepada seseorang. Mungkin pembaca akan melakukan hal yang serupa dengan apa yang dilakukan tokoh dalam puisi jika pembaca sedang mengalami jatuh cinta.
Memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa orang yang sedang berkasih akan melakukan apa saja untuk orang yang dikasihi. Dia akan memuja-muja orang itu dan berbuat sebaik mungkin kepada orang tersebut.




















II.            Puisi hanya kepada Tuan karya Or. Mandank
·         Hanya Kepada Tuan

Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan

Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada tuan
Yang pernah diresah gelisahkan

Satu-satu kenyataan
Yang bisa dirasakan
Hanya dapat saya nyatakan
Kepada tuan
Yang enggan menerima kenyataan
            (Or. Mandank)

Analisis :
Puisi di ats merupakan jenis puisi bebas yang tidak terikat oleh aturan tertentu. Namun, melihat ada dua bait yang terdiri atas lima baris, maka puisi itu juga bisa disebut quint.
A.    Unsur Fisik

1.      Diksi
Diksi atau pilihan kata yang digunakan oleh pengarang lumayan sederhana, namun tidak mengurangi makna yang akan disampaikan. Pengarang lebih menonjolkan kata ulang dalam puisinya. Hal itu terlihat pada kata `satu-satu` yang selalu dipakai disetiap bait. Penulis atau pengarang lebih memilih menggunakan kata-kata yang resmi atau baku yang tercermin pada kata `saya`. Saya merupakan kata baku untuk sebutan orang pertama. Selain kata saya, ada kata lain yang memiliki arti yang sama, yaitu aku, beta, awak, daku, dan lainnya. Namun, pengarang lebih memilih kata saya karena disesuaikan dengan makna puisi yang resmi. Hal itu membuat makna puisi lebih terkesan tegas. Unsur ketegasan atau suatu perbedaan posisi diperlukan dalam puisi itu. Dengan begitu, permainan kata juga harus disesuaikan. Puisi itu menceritakan tentang dua sosok makhluk yang mempunyai perbedaan derajat atau posisi. Untuk itu terjadi interaksi yang agak kaku. Hal itu tercermin dari pemilihan kata yang digunakan oleh pengarang. Untuk menonjolkan makna, pengarang juga menggunakan kata yang semakna misalnya `diresak gelisahkan`, dua kata itu semakna namun, digunakan secara bersamaan. Kata yang digunakan oleh pengarang kurang bervariasi. Pengarang menggunakan kata-kta yang rata-rata memiliki makna yang sama. Hal itu terlihat dari kata `katakan` pada bait pertama, `kisahkan` pada bait kedua, dan `nyatakan` pada bait ketiga. Ketiga kata itu sama maknanya. Namun, digunakan secara bergantian pada tiap baitnya.

2.      Bunyi
Unsur bunyi yang mendominasi puisi di atas adalah bunyi a. Oleh pengarang, puisi itu digambarkan sebagai suasana yang lemah lembut. Jadi, unsur bunyi rendah seperti a cocok untuk ditampilkan. Hal itu terekam dalam rangkaian kata pada semua baris yang berakhiran –an.

Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan

Keserasian suku kata akhir yang sama dimaksudkan untuk memberi keindahan pada puisi tersebut. Namun, oleh pengarang semua baris dibuat berakhiran yang sama, sehingga membuat pembaca agak bosan.
Selain bunyi a, pengarang juga menimbulkan bunyi u pada awal-awal kata. Bunyi u yang berurutan memberikan unsur keindahan yang berbeda apalagi dikombinasikan dengan bunyi a yang mengelilinginya.


Satu-satu perasaan


Satu-satu kegelisahan





Satu-satu kenyataan




Bunyi u yang mantap dan bulat sangat cocok ditampilkan di depan kata atau kata yang mengawali sebuah bari maupun bait. Kata yang diucapkan bulat akan menimbulkan kesan yang menggugah semangat pendengar untuk mendengarkan lebih lanjut. Selain itu, suara bulat pada awal kata bisa mengimbangi suara lemah yang ada pada rangkaian kata brikutnya.
Pengarang juga menggunakan sedikit bunyi e yang letaknya berkesinambungan, sehingga pengucapannya pun bergantian tanpa jeda yang lama. Hal ini mengesankan terjadi kombinsi bunyi kata pada puisi.

Yang pernah diresah gelisahkan

Yang enggan menerima kenyataan


3.      Versifikasi (sajak, metrum dan irama, rima, bait)
Sajak dalam puisi disebut juga rima yang merupakan ulangan bunyi pada setiap baris dalam puisi. Sajak berfungsi sebagai hiasan suatu puisi. Pada puisi di atas, sajak yang ditampilkan merupakan sajak identik yang terlihat pada kutipan berikut ini.



Satu-satu perasaan


Satu-satu kegelisahan





Satu-satu kenyataan




          Pada puisi di atas, pengarang juga menggunakan rangkain asonansi yang didominasi oleh asonansi a. Karena puisi tersebut terkesan menggambarkan peraduan seseorang kepada seseorang yang lebih dihormatinya, maka oleh pengarang dibuat nada atau intonasi rendah.

Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan

Selain menggunakan asonansi, pengarang juga menggunakan rima yang sama. Hal itu ditonjolkan pada rima akhir yang mana puisi yang trdiri atas tiga bait itu memiliki rima akhir yang sama yaitu –an.
Rima akhir yang sama dengan jumlah yang banyak membuat asonansi menjadi tidak kelihatan. Apalagi asonansi yang digunakan juga berbunyi a. Melihat bentuk asonansi dan rima yang digunakan, maka puisi itu didominasi dengan irama yang rendah. Pembaca akan membaca puisi itu dengan nada yang rendah, menghalus, dan lembut. Tetapi, mungkin akan ada variasi bunyi bulat agak tinggi pada saat pengucapan kata `satu-satu`.


4.      Bahasa Kias
Puisi di atas tidak banyak menggunakan bahasa kias. Hampir semua kata yang dipilih bermakna lugas. Kata-katanya langsung bisa kita mengerti, jadi memudahkan kita untuk menarik makna.
Namun, pengarang tidak sepenuhnya mengambil makna yang benar-benar lugas atau murni lugas. Pengarang juga menyelipkan bahasa lugas yang seolah-olah mengiaskan, misalnya `diresah gelisahkan`, mungkin pengarang memberi maksud untuk kedua kata itu bahwa benar-benar membuat orang gelisah.

5.      Tipografi
Puisi yang berjudul hanya kepada tuan karya Or. Mandank, terdiri atas tiga bait. Bait pertama disusun dari empat baris yang memiliki jumlah yang berbeda pada setiap barisnya. Pada bait kedua terdiri atas lima baris yang jumlah katanya pun berbeda. Dan, pada bait ketiga terdiri atas lima baris.
Baris-baris yang menyusun tiap bait puisi itu membentuk tipografi suatu puisi. Tipografi yang digambarkan oleh pengarang pada puisinya yaitu tipografi yang lurus kiri, yaitu penulisannya rata kiri, lurus ke bawah, namun panjang kata tiap baris tidak beraturan, sehingga bagian kanan terlihat panjang pendek.
Penulisan puisi itu selalu diawali dengan huruf besar pada awak baris tanpa diakhiri dengan tanda baca. Jadi, untuk mendapatkan intonasi pada puisi, maka kita harus mengira-ira sendiri unut mendapatkan kesan yang lebih baik.


6.      Enjambemen
Pemenggalan atau enjambemen yang terlihat pada puisi terjadi pada tiap bait. Menurut saya, dalam satu bait puisi di atas merupakan rangkaian satu kalimat yang utuh. Jadi, agar tidak menjadikan baris berukuran panjang maka rangkaian kata itu dipenggal-penggal menjadi beberapa baris. Misalnya terlihat pada bait pertama,

Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan

Pada bait pertama tersebut, terdiri atas empat baris yang merupakan udalan dari satu kalimat yaitu `Satu-satunya perasaan, saya katakan kepada tuan yang pernah merasakan`. Itu merupakan makna yang utuh. Namun, karena puisi mempunyai ciri pemadatan, maka kalimat itupun dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi menarik.
Pemenggalan juga terlihat pada kta ` kepada tuan` yang hanya dalam stu baris dan diteruskan kata berikutnya di baris berikutnya pula. Jadi, jika kit abaca terkesan itu pemenggalannya.

7.      Sarana retorika
Pengarang puisi di atas tidak begitu menonjolkan unsur majas. Mungkin hanya beberapa majas saja yang itupun tidak jelas terlihat sehingga kita harus menerka-nerka lebih jauh. Misalnya ada majas hiperbola pada kutipan di bawah ini :

Yang pernah diresah gelisahkan

Kata diresah gelisahkan mengambarkan kesan sedih atau resah yang berlebihan. Hal itu karena terjadi pengulangan makna walaupun dalam bentuk yang berbeda.

8.      Citraan
Pencitraan ynag dilakukan pengarang pada puisi di atas kebanyakan adalah citraan perasaan. Perasaan yang resah dan gelisah.

Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan

Selain itu, setelah membaca puisi tersebut kita juga bisa berimajinasi tentang seseorang yang sedng bercakap dengan orang lain. Hal itu bisa digolongkan pada citraan penglihatan atau visual.

Hanya dapat saya nyatakan
Kepada tuan
Yang enggan menerima kenyataan

Dari kutipan itu, kita seakan-akan melihat seseorang sedang berbicara. Karena puisi tersebut kata-katanya monoton sehingga tidak terdapat banyak citraan yang ditampilkan.

B.     Unsur Batin

1.      Makna dan rasa
Makna puisi di atas dapat dilihat dari rangkaian kata pada satu kesatuan baitnya. Baris-baris yang dalam puisi itu saling berhubungan dan berkesinambungan membentuk satu makna. Dan makna itu terbentuk dari kumpulan baris yang disebut bait. Pada Bait kedua dengan kutipan sebagai berikut :

Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada tuan
Yang pernah diresah gelisahkan

 Pada bait itu diceritakan tentang seseorang yang sedang mencurahkan keluh kesahnya kepada tuan. Tuan dianggap paling bisa mengerti tentang apa yang dirasakan oleh tokoh yang ada dalam puisi. Melihat rangkaian kata itu, kita bisa merasakan keadaan hati seseorang yang sedang dilanda masalah yang sulit untuk dipecahkan. Dia berusaha meminta petunjuk kepada Tuan yang dirasa pernah merasakan hal yang sama. Perasaan resah, gelisah bisa kita lihat pada baris selanjutnya. Orang yang suasana hati tidak karuan. Resah, gelisah yang dia rasakan.

2.      Nada dan suasana
Nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi. Dengan begitu, berdasarkan unsur nadanya, puisi di atas memiliki nada yang serius. Pengarang berusaha mengungkapkan sikap menasihati pembaca dengan membuat penggambaran tentang kisah pengaduan seseorang yang berkenaan dengan orang lain. Pengarang bermaksud memberitahu pembaca bahwa kita sebagai manusia tidak hidup sendiri dan ada kalanya kita bisa berbagi dengan orang lain untuk meminta nasihat.
Pengarang berharap setelah membaca puisi itu, pembaca bisa lebih menikmati kondisi hidup yang dialami. Bahwa kita dengan kondisi itu, kita bisa melakukan banyak hal dengan mengatakan, mengisahkan , atau pun menyatakan kepada orang yang tepat. Selain itu, kita juga tidak boleh melupakan tuhan. Kita perlu berserah diri setelah berusaha. Karena sesungguhnya hanya dia yang maha kuasa.












III.            Puisi Gembala karya Moh. Yamin

Gembala
Perasaan siapa ta ‘kan nyala
Melihat anak berelagu dendang
Seorang saja di tengah padang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai
Wahai gembala di segara hijau
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau
            (Muhammad Yamin)

Analisis :
Puisi di ats trmasuk dalam puisi bebas yang memiliki empat belas baris dalam satu baitnya. Oleh karena itu, puisi itu bisa disebut sonata.

A.    STRUKTUR FISIK :
1.       DIKSI
Pilihan diksi yang dilakukan pengarang tidak terlalu sulit untuk diterjemahkan. Diksi-diksi yang dipilih lumayan sederhana sehingga pembaca tidak kesulitan untuk menemukan makna yang terkandung di dalamnya.
Walaupun diksi ynag digunakan hanya sederhana, namun diksi-diksi itu merupakan kata yang indah. Misalnya `tiada berbaju` yang berarti tidak memakai baju. Jika dalam baris puisi itu langsung dituliskan kalimat aslinya, maka akan mengurangi keindahan. Apalagi suatu puisi memiliki ciri pemadatan kata. Selain itu, pengarang juga lebih memilih kata yang menarik dan romantic, misalnya kata `senja` yang sama artinya dengan sore ataupun petang. Namun, pengarang lebih suka menggunakan kata senja sehinggga bisa dihubungkan atau dikombinasikan dengan kata selanjutnya.

Pulang ke rumah di senja kala

Selain kata-kata itu, pengarng juga memilih kata indah yang lain.

Melagukan alam nan molek permai

Pengarang tidak melihat status si penggembala yang hanya pekerjaan biasa, namun oleh pengarang dibuat suasana menggembala itu indah dengan cara menampilkan kata-kata yang indah pula. Dengan kata-kata yang dipilihkan oleh pengarang itu, pembaca bisa ikut merasakan suasana penggembalaan di suatu padang rumput.

2.      BUNYI
Bunyi yang terdapat pada puisi di atas didominasi bunyi a. Bunyi a hampir terdapat pada semua kata dan baris. Dengan kehadiran bunyi a ini akan memberikan efek yang halus karena bunyi a merupakan bunyi rendah.

Seorang saja di tengah padang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala

Bunyi-bunyi itu membuat unsur keindahan pada puisi. Selain bunyi a, pengarang juga menampilkan kombinasi bunyi yang indah, yaitu kombinasi bunyi i dan u yang letaknya berselang-seling dalam kata. Hal itu menimbulkan kesan yang bervariasi dalam pengucapan Dan bunyi itu akan mempengaruhi keindahan pada saat puisi itu dibacakan.

Jauh sedikit sesayup sampai

Selain ada bunyi kombinasi, pengarang juga menampilkan bunyi yang seragam sehingga mempermudah pelafalan oleh pembaca. Selain itu, manfaat yang lainnya adalah dengan bunyi yang seragam, maka suara yang dihasilkan pun akan seiringan dan senada. Bunyi seragam semacam ini akan lebih indah jika didendangkan.

Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau

Dua baris puisi itu memiliki unsur bunyi yang hampir sama. Apalagi pada tiapbaris puisi itu mempunyai kata yang sama yaitu `menurutkan`. Bunyi yang sama terjadi pula di akhir kata, yaitu tiap kata akhir memiliki suku kata yang bunyinya sama, yaitu –au. Bunyi –au ini akan memperindah puisi saat dibacakan karena bunyi ini terdengar mantap, bulat, dan ekspresif.

3.       VERSIFIKASI (SAJAK, METRUM DAN IRAMA, RIMA, BAIT)
Sajak yang ditampilkan dalam puisi di atas sangat beragam. Terdapat banyak asonansi dalam puisi tersebut, namun asonansi a lebih mendominasi.  Asonansi a akan sering muncul sehubungan dengan kata yang mengandung bunyi a.

Perasaan siapa ta ‘kan nyala

Asonansi a ditimbulkan pada setiap kata yang menyusun baris di atas. Asonansi a ini akan menimbulkan suasana melemah. Selain asonansi a, ada juga asonansi yang lain, yaitu e dan u. Asonansi itu terlihat pada kutipan di bawah ini.
Melihat anak berelagu dendang

Maulah aku menurutkan dikau

Selain terdapat asonansi, juga terdapat bunyi yang hampir sama pada kata yang berurutan. Namun, kemiripan bunyi itu membuat puisi menjadi lebih indah. Kata yang berkesinambungan itu seakan-akan membawa dampak keserasian yang indah pada pengucapan.

Jauh sedikit sesayup sampai

Persamaan bunyi se- dan sa- yang terdapat dalam satu baris di atas merupakan serangkaian sajak awal yang identik.
Pada puisi di atas, terdapat rima akhir yang sama. Hal itu terlihat pada kutipan dibawah ini.

Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai

Wahai gembala di segara hijau
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau

Kesamaan rima akhir itu merupakan bunyi diftong dalam bahasa Indonesia, yaitu diftong ai dan au. Penambahan bunyi diftong ini memperindah bunyi kata dan mempercantik kejelasan pendengaran penyimak. Selain itu, efek dari bunyi diftong juga memperkuat makna.

4.      BAHASA KIAS
Pengarang tidak menampilkan banyak bahasa kias pada puisi di atas. Hal itu karena, puisi tersebut tergolong jenis puisi lanskap yang mana penjelasan atau kata yang digunakan relatif bermakna lugas. Namun, ada beberapa kata yang bermakan kias yaitu `buka kepala` yang terdapat pada  baris keempat, yang berarti tidak memakai penutup kepala (topi atau caping). Kata kias yang lain yaitu `kayu nan rindang`. Oleh pengarang, kata itu diberi makna sebuah pohon yang berdaun lebat sehingga memberikan kerindangan bagi orang disekitarnya. Selain  itu juga ada kiasan yang bermakna tempat yang luas, yaitu `segara hijau`. Segara hijau di sini bermakna suatu tempat yang luas yang penuh dengan rerumputan berwarna hijau.
Pengarang sengaja menggunakan kata kias semacam ini guna memperindah kata atau diksi pada puisi yang dibuatnya.

5.      TIPOGRAFI PUISI
Tipografi puisi yang ditampilkan cukup sederhana, karena puisi ini hanya terdiri atas satu bait saja. Satu bait puisi ini terbentuk dari kumpulan empat belas baris puisi. Keempat belas baris itu tersusun rapi kebawah dengan penulisan rata kiri. Sedangkan bagian kanan bait terlihat tidak teratur. Hal ini karena jumlah kata dalam satu baris tidak sama. Selain mengenai penulisan letak, pada puisi ini juga terlihat penulisan huruf yang diawali dengan huruf kapital. Namun, pada puisi ini tidak ditemukan adanya tanda baca. Sehingga untuk menimbulkan intonasi yang beragam, maka pembaca harus pandai-pandai menempatkan intonasi yang tepat pada tiap kata atau baris.

6.      ENJAMBEMEN
Pemenggalan makna yang terdapat pada puisi di atas bisa kita lihat pada setiap barisnya. Tiap baris puisi memiliki makna yang koheren sehingga tidak bisa dipisahkan. Rata-rata pada satu baris puisi terdiri atas  empat kata, yang mana empat kata itu terbagi dalam dua kelompok kata, kata pertama dengan kata kedua memiliki maksud yang utuh, begitu juga kata ketiga dan keempat.

Perasaan siapa ta ‘kan nyala

Dari baris di atas dapat kita penggal menjadi perasaan siapa dan ta`kan nyala. Pemenggalan-pemenggalan semacam itu juga berlaku untuk baris yang lainnya.

7.      SARANA RETORIKA
Puisi gembala tidak mengandung majas yang berlebihan. Hanya saja untuk memperlembut keadaan, maka pengarang menyisipkan majas metafora. Hal itu terlihat pada baris di bawah ini

Jauh sedikit sesayup sampai
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai

Rangkaian kata-kata itu terlihat indah dan seolah-olah terkandung nilai kelembutan yang penuh dengan rayuan.
Selain itu, ada juga majas hiperbola yang ditunjukkan pada kata dalam baris berikut ini.

Wahai gembala di segara hijau

Kata `segara hijau` dianggap sebagai unsur majas hiperbola karena kata itu seakan-akan melebih-lebihkan makna luas. Mungkin yang dimaksud pengarang segara hijau adalah lapangan rumput yang digunakan penggembala menggembalakan kerbaunya. Namun, oleh pengarang lapangan rumput itu digambarkan sangat luas bak segara (laut).

8.      CITRAAN
Pada puisi di atas terdapat citraan penglihatan dan pendengaran. Hal itu dapat kita lihat pada kutipan di bawah ini.

Melihat anak berelagu dendang
Seorang saja di tengah padang
Tiada berbaju buka kepala

Berdasarkan kutipan di atas, seolah-olah kita dapat melihat seorang anak yang sedang bernyanyi seorang diri di tengah lapang tanpa menggunakan baju dan penutup kepala. Kita menkmati kondisi itu dengan bantuan indera pemglihat kita. Jadi, dalam hal ini yang berperan adalah citraan penglihatan atau visual.
Selain citraan visual, ada juga citraan audio atau pendengaran. Citraan pendengaran ini mengajak kita seolah-olah kita mendengarkan sesuatu.

Terdengar olehku bunyi serunai

B.     STRUKTUR BATIN

1.      MAKNA DAN RASA
Puisi yang berjudul Gembala karya Moh Yamin tersebut memiliki makna yang sederhana. Pengarang hanya ingin menceritakan kehidupan seorang anak yang sedang menggembala kerbaunya. Pengarang berusaha menampilkan kesan ynag mendalam pada pembaca tentang aktivitas penggembala. Oleh pengarang, situasi saat menggembala digambarkan dengan penuh citraan visual dan audio. Dari puisi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa seorang penggembala itu akan menggembalakan kerbau-kerbaunya di padang rumput yang luas. Penggembala juga berpakaian yang sederhana. Selain itu, pengarang juga menggambarkan betapa rajinnya pengembala karena berangkat pagi dan pulang petang.
Selain memiliki nilai makna, puisi tersebut juga mempunyai rasa. Oleh pengarang rasa yang ditampilkan hanya sederhana yaitu rasa senang yang ditunjukkan oleh pengembala saat mengembalakan kerbaunya. Rasa senang dan bahagia itu tergambar pada saat pengembala duduk tenang di bawah pohon yang rindang sambil bernyanyi.

Berteduh di bawah kayu nan rindang
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam nan molek permai

2.      NADA DAN SUASANA
Pengarang menciptakan puisi itu guna menceritakan sekaligus memberitahukan  kepada pembaca tentang kehidupan seorang pengembala. Bagaimana seorang pengembala mengembalakan kerbaunya, bagaimana dia berpakaian, kapan dia pergi, dimana dia menggembala, dan apa saja yang dilakukannya saat mengembala. Dengan memberikan gambaran-gambaran semacam itu, pengarang berusaha membagi pengetahuan kepada pembaca tentang kehidupan sisi lain.
Setelah pengarang menyampaikan maksudnya lewat rangkaian kata-katanya itu, maka pembaca diharapkan bisa mengambil pelajaran yang positif dari peristiwa tersebut.  Misalnya, setelah membaca itu, pembaca akan meniru kerajinan pengembala yang pergi pagi pulang petang. Mungkin juga pembaca akan meniru keuletan dari pengembala yang tahan terhadap cuaca walupun tanpa baju dan berada di alam bebas. Jadi, dari puisi tersebut, kita dapat mengambil banyak pelajaran.




IV.            Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar
  Diponegoro
Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
            Didepan sekali tuan menanti
            Tak gentar. Lawan banyaknya
            Seratus kali
            Pedang dikanan, keris dikiri
            Berselempang semangat
            Tak bisa mati
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
            Punah diatas menghampa
            Binasa diatas ditindas
            Sesungguhnya jalan asal
            Baru tercapai
            Jika hidup harus merasa
Maju
Serbu
Serang
Terjang
            (Chairil Anwar)


Analisis:
Melihat isi cerita dalam pusi tersebut, maka puisi itu dapat dimasukkan dalam jenis puisi epic, yaitu puisi yang bercerita tentang kepahlawanan.

A.    STRUKTUR FISIK

1.      Diksi
Untuk mencapai unsur keindahan dalam puisi, maka pengarang perlu memperhatikan diksi yang digunakan. Pada puisi Diponegoro karya Chairil Anwar ini menggunakan diksi yang kuat. Kata yang digunakan merupakan kata-kata yang keras dan tergolong kata tegas. Hal itu akan terlihat jika puisi itu dibacakan. Kata-kata keras itu misalnya terlihat pada bait terakhir, yaitu:
Maju
Serbu
Serang
Terjang

Jika kata-kata itu diucapkan, akan menimbulkan suara yang keras dan tegas. Dengan demikian akan menambah mantapnya makna yang ingin disampaikan pengarang.

Pedang dikanan, keris dikiri
            Berselempang semangat
Pilihan kata yang dilakukan oleh pengarang sangat cocok dengan makna dan situasi yang ingin disampaikan. Seperti kutipan di atas, berdasarkan rangkaian kata yang tidak jauh dari senjata, kita dapat memaknainya sebagai semangat pahlawan kita pada zaman dulu. Kata `berselempang semangat` yang dipilih oleh pengarang menandakan suatu semangat yang menyeluruh yang sudah tersimpan dalam jiwa dan raga.

2.      Bunyi
Pada puisi di atas, mengandung bunyi yang tinggi. Kebanyakan bunyi i dan u mendominasi disetiap baris dan bait. Unsur bunyi i dan u akan menampilkan bunyi yang berat, tinggi, sehingga mengena pada makna. Dapat kita lihat dari kutipan di bawah ini.
Sekali berarti
Sudah itu mati

Bunyi I pada kata itu akan menghasilkan suara yang tinggi. Sehingga terdapat penekanan pada setiap kata. Selain bunyi I, ada juga bunyi u dan a.
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu

Bunyi u yang dihasikan pada kata-kata itu, akan menimbulkan suara atau bunyi yang bulat dan merdu. Selain itu, bunyi u cocok digunakan untuk bunyi panjang. Misalnya kata `maju` bisa dibaca `majuuuuuuuu` (panjang).
Sebagai kombinasi bunyi, pengarang juga memunculkan bunyi lemah pada puisinya. Misalnya bunyi a. Bunyi a ini akan menjadi pereda bunyi-bunyi tinggi yang telah mendominasi, sehingga suasana tidak selalu tegang.

Punah diatas menghampa
Binasa diatas ditindas
Sesungguhnya jalan asal

3.      Versifikasi (sajak, metrum dan irama, rima, bait)
Sajak yang ditampilkan dalam puisi di atas sangat beragam. Terdapat banyak asonansi dalam puisi tersebut, namun asonansi I dan u lebih mendominasi.  Asonansi I atau u akan sering muncul sehubungan dengan kata yang mengandung bunyi tersebut.  Namun selain terdapat asonansi u dan I, ada juga asonansi a.
Didepan sekali tuan menanti

Asonansi I yang ada pada kata-kata yang menyusun baris itu memberikan makna kata yang meninggi. Asonansi itu menggambarkan suasana yang lagi genting. Hal itu akan diperkuat oleh baris berikutnya yang juga menggunakan asonansi i.

Bagimu negeri
Menyediakan api

Selain asonansi I, ada juga asonansi a dan u.

Punah diatas menghampa
            Binasa diatas ditindas
Unsur asonansi u yang memberikan kesan suara bulat, misalnya :
Tuan hidup kembali

Selain adanya asonansi, pada puisi tersebut juga ada sajak yang identik dan rima akhir yang sama. Hal itu menambah keindahan puisi yang dibuat. Dengan sajak identic kita bisa memberi makna bahwa itu saling berhubungan atau saling menguatkan. Sajak identic dapat kita lihat pada baris berikut ini.

Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju

Satu kata maju yang ditampilkan dua kali itu merupakan tanda adanya sajak identic. Sajak identik itu ada pada awal baris dan hanya ada kata maju saja dalam satu baris itu. Hal itu benar-benar menggambarkan keberanian yang membara.
Selain itu, puisi di atas juga menampilkan rima akhir yang sama pada beberapa baris. Keserasian bunyi akhir ini menambah indahnya pengucapan puisi pada saat dibaca. Sehingga pendengar pun akan merasa terlena.

Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
                        Didepan sekali tuan menanti

4.      Bahasa Kias
Puisi yang berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar tidak banyak menggunakan bahasa kias. Hal itu kemungkinan dikarenakan oleh jenis puisi yang merupakan tergolong puisi epic. Jadi, kata yang digunakan ksebagian besar memiliki makna lugas. Namun, ada beberapa kata kias yang sederhana pada puisi tersebut. Kata kias itu misalnya `berselempang semangat` yang mempunyai makna penuh semangat atau semangat yang membara. Namun, oleh pengarang makna itu agak dilebih-lebihkan sehingga menarik.
Selain itu, ada lagi kata kias, yaitu `menyediakan api`. Dari kata itu, pengarang bermaksud menjelaskan bahwa negara atau negeri ini menyediakan mendukung sepenuhnya perjuangan yang dilakukan oleh bangsanya. Melalui kata-kata kias tersebut, pengarang mengajak pembaca untuk sedikit berpikir demi mendapatkan makna atau pesan yang terkandung pada puisi.

5.      Tipografi
Wajah atau bentuk yang ditampilkan pada puisi tersebut sangat indah dan bervariasi. Puisi itu terdiri atas lima bait yang mana penulisan antara bait satu dan satunya tidak lurus sama. Penulisan bait satu, tiga, dan lima sejajar dan perataan kirinya sama. Sedangkan pada bait ke-2 dan ke-4 memiliki letak yang sejajar. Penulisannya dibedakan dengan bait 1,3, dan 5, karena penulisan bait 2 dan 4 agak menjorok ke dalam.
Selain dari segi penulisan bait, pada puisi ini juga ditemukan tanda baca. Hal itu bisa kita lihat pada utipan di bawah ini.

Tak gentar. Lawan banyaknya
            Seratus kali
            Pedang dikanan, keris dikiri

Pada baris tersebut, terdapat tanda baca titik (.) dan koma (,) ditengah-tengah baris. Dengan adanya tanda baca itu, maka dapat dimanfaatkan sebagai pembantu mengatur intonasi saat membacakan puisi tersebut.  Selain berkenaan dengan tanda baca, unsur pembentuk wajah puisi tersebut adalah penulisan kata pertama pada setiap baris menggunakan huruf kapital. Selain itu, ada beberapa bait yang menampilkan baris yang hanya terdiri atas satu kata saja. Misalnya :
Maju
Serbu
Serang
Terjan

Dengan keberagaman penulisan, membuat tampilan puisi menjadi jauh lebih indah dan memiliki unsur seni yang lumayan tinggi. Selain itu, dengan tampilan yang tidak monoton, akan bisa menarik perhatian pembaca atau penikmat puisi.

6.      Enjambemen
Konsep pemenggalan kata pada puisi tersebut berlaku pada tiap kata. Tiap kata pada tiap baris dan bait memiliki makna yang berbeda dan bukan merupakan satu makna yang menyeluruh. Pemenggalan tidak hanya terjadi pada tiap kata dalam satu baris saja, namun juga berlaku pada bait. Pemenggalan itu bisa dicontohkan sebagai berikut :
Pedang dikanan, keris dikiri

Pemenggalan pada baris ini terlihat jelas karena ada tanda baca yang memisahkan mereka. Akan tetapi, pemenggalan yang dilakukan juga semacam itu.
Pada dasarnya pemenggalan bisa dilakukan kapan pun sesuka pembaca. Namun, dalam proses pemenggalan harus memperhatikan makna kesatuan kata yang akan ditimbulkan.

7.      Sarana Retorika
Sarana retorika yang digunakan berupa majas. Majas yang muncul pada puisi itu antara lain :
·         Majas hiperbola, yang mana pengarang melebih-lebihkan rasa kagumnya, sehingga memilih kata yang maknanya berlebihan juga. “ Dan bara kagum menjadi api”, “ bagimu negeri, menyediakan api”.” Berselempang semangat”, dan lainnya.

8.      Citraan
Citraan yang ditampilkan oleh pengarang dalam puisinya berupa citraan :
·         Visual (penglihatan). Hal itu tercermin pada:

Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
           Didepan sekali tuan menanti

Pada beberapa baris tersebut dijelaskan bahwa, dengan membaca itu kita sebagai pembaca mempunyai bayangan atau gambaran tentang seseorang yang dianggap berjasa hidup kembali dengan memiliki semangat yang besar berdiri di depan untuk menghadang musuh yang datang. Mungkin semacam itu bayangan yang kita dapatkan dari kata-kata itu.

·         Audio (pendengran). Hal itu tercermin pada:
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Dengan membaca kata-kata itu, maka kita sebagai pihak penikmat akan merasakan teriakan-teriakan dari para pahlawan yang maju berperang. Jeritan mmberi semangat itu akan terdengar keras dan lantang sehingga bisa membangkitkan semangat.

·         Perasaan. Hal itu dijelaskan pada
Punah diatas menghampa
Binasa diatas ditindas

Dari kata itu, kita bisa ikut merasakan betapa menderitanya pahlawan kita dulu. Mereka berjuang untuk menang tanpa takut akan kematian. Perasaan mereka yang penuh dengan pilu hanya bisa berpasrah saja pada yang kuasa.
                


B.     STRUKTUR BATIN

1.      Makna dan Rasa
Puisi Diponegoro tersebut menceritakan perjuangan para pahlawan pada zaman dahulu. Mereka berjuang dengan penuh semangat. Kematian dan penyiksaan tidak menjadikan semangat mereka pupus. Dengan bersenjatakan keris dan pedang, yang merupakan senjata yang sederhana, mereka berani maju menyerang musuh.
Dari peristiwa semacam itu, kita merasakan suatu kejadian yang menakutkan, yang mana pada saat itu, nyawa manusia sungguh tidak ada artinya. Kemerdekaan dan kemenangan yang menjadi tujuan utama. Rasa haru, pilu, sedih, dan semangat sangat membuat pembaca merinding dn ikut merasakan rasa apa yang ada dalam cerita yang berupa puisi tersebut.

2.      Nada dan Suasana
Melalui puisi tersebut, pengarang bermaksud untuk mengajak pembaca mengenang dan mngingat masa lalu. Masa dimana para pahlawan kita berjuang mati-matian membela negara demi mendapatkan kemerdekaan. Untuk itu, melalui puisi itu juga, pengarang berusaha memberi motivasi pada kaula muda untuk tetap berjuang di masa sekarang ini.
Setelah membaca puisi ini, pembaca seharusnya sadar dan tahu maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang kepadanya. Pembaca yang tergugah hatinya akan senantiasa melanjutkan perjuangan di masa lalu namun dengan cara ynag berbeda, bukan perang seperti waktu itu.






V.            Puisi Dengan Puisi, Aku karya Taufik Ismail
Dengan Puisi, Aku
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi pun aku bercinta
Berbatas car wula
            Dengan puisi aku mengarang
            Keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
            Dengan puisi aku mengutak
            Nakas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
            (Taufik Ismail)

Analisis:
Dilihat dari diksi yang digunakan dan dihubungkan dengan bunyi-bunyi yang ditampilkan, maka puisi itu termasuk puisi lirik, yaitu puisi yang bisa dijadikan lirik suatu lagu.

A.    Unsur Fisik

1.      Diksi
Diksi dalam puisi sangat memperngaruhi unsur keindahan dalam puisi. Diksi bisa diciptakan dengan pilihan kata-kata yang dianggap coock dan bagus untuk mengungkapkan makna puisi yang akan dibuat. Pada puisi yang berjudul `Dengan Puisi, Aku` karya Taufik Ismail pilihan kata yang dilakukan lumayan bervariasi namun merupakan kata-kata yang sudah umum digunakan. Namun ada beberapa kata yang merupakan kata yang belum umum digunakan. Misalnya kata car wula, mengutak, nakas. Kata-kata tersebut terdapat pada kutipan baris di bawah ini.

Berbatas car wula

Dengan puisi aku mengutak
            Nakas jaman yang busuk

Kata car wula pada baris pertama, trmasuk dalam kata khusus yang dalam puisi tersebut berarti usia. Makna car wula yang sama artinya dengan usia itu lebih dipilih oleh pengarang dalam menimbulkan kesan indah pada diksi puisi yang dibuatnya. Secara sepintas, kata car wula tidak akan bermakna tanpa melihat kata sebelumnya, karena kata itu belum umum digunakan. Dengan kata-kata yang baru seperti itu, pengarang berusaha menampilkan puisi dengan diksi yang menarik.
Selain kata car wula, ada juga kata menguntak. Kata menguntak ini juga belum umum digunakan. Yang mana menguntak berarti mengorek-orek atau mengingat. Oleh pengarang digunakan kata menguntak dibandingkan kata mengingat karena pengarang ingin menmpilkan diksi yang berbeda dan bunyi yang berbeda pula. Kata menguntak akan dilanjutkan dengan kata nakas yang sama artinya dengan luka. Pengarang menganggap kata nakas lebih indah dan cocok digunakan dibandingkan dengan kata luka.
Pemilihan diksi yang khusus memang harus dilakukan oleh pengarang untuk memperindah puisinya dan juga guna menyesuaikan bunyi dengan diksi-diksi yang lainnya.

2.      Bunyi
Pada puisi yang berjudul `dengan puisi, aku` karya taufik Ismail di atas, kita bisa melihat adanya persamaan bunyi yang bervariasi pada diksi-diksinya. Oleh pengarang, bunyi diksi dibuat seragam untuk beberapa baris yang saling berhubungan.
Pada tiap bait puisi di atas terdapat bunyi i yang berasal dari kata `dengan puisi`. Kata itu selalu hadir disetiap bait sebagai pembuka kata yang lainnya. Hal itu karena, pengarang menggunakna pengulangan kata yang identik dengan judul.
Pengarang puisi ini sangat memperhatikan unsur bunyi dari setiap akhir baris. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini.

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi pun aku bercinta
Berbatas car wula

Pada empat baris kutipan puisi di atas, kita lihat ada persamaan bunyi akhir yang secara berurutan pada baris satu dan setelahnya. Pada baris pertama dan kedua, olh pengarang dibuat dengan persamaan bunyi akhir i. Iringan bunyi akhir yang sama menciptakan keindahan pada pembacaan puisi. Jika puisi itu dilafalkan juga akan terdengar indah dan serasi. Selanjutnya pada baris ketiga dan keempat, terdapat persamaan bunyi akhir a Yang berurutan. Setelah bunyi i yang terdapat pada baris sebelumnya, yang mana I merupakan salah satu bunyi yang tinngi, dan dilanjutkan  bunyi a yang merupakan bunyi rendah, akan membuat kombinasi nada bunyi yang bervariasi tinggi rendah. Kombinasi seperti itu sangat indah.
Selain terdapat bunyi akhir baris yang berbntuk vocal, pada puisi itu juga ada bunyi akhir yang sama yang berbentuk konsonan. Walaupun bunyi konsonan, namun tetap saja menimbulkan variasi bunyi pada puisi.

Dengan puisi aku mengarang
Keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutak
Nakas jaman yang busuk

Persamaan bunyi akhir konsonan menimbulkan kesan seperti tanda titik. Sehingga persamaan bunyi konsonan itu tidak bisa diucapkan dengan intonasi yang panjang.

3.      Versifikasi
Dalam versifikasi puisi, terdapat rima, ritma, maupun irama. Rima yang digunakna sangat bervariasi. Banyak ditemukan asonansi dan aliterasi pada bunyi-bunyi akhir. Hal itu nampak pada baris-baris di bawah ini.

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti

Pada dua baris tersebut, terdapat aliterasi bunyi s pada kata sampai dan senja. Bunyi huruf s yang berurutan membentuk aliterasi yang indah. Selain itu, pada dua baris itu juga terdapat rima akhir yang sama yaitu bunyi –i.

Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris

Pada dua baris selanjutnya ini, terdapat asonansi bunyi a yang berurutan pada kata jarum dan waktu. Selain itu juga ada asonansi bunyi e pada kata kejam dan mengiris. Bunyi vocal yang sama dan berurutan ini membuat keserasian dalam pengucapan puisi. Hal itu menjadi salah satu unsur keindahan pada puisi.
Ada rima akhir yang sama pada dua baris puisi tersebut. Rima akhir itu adalah –is. Keserasian ini menimbulkan kekompakan pelafalan pada saat pembacaan puisi.
Selain asonansi dan aliterasi, pada puisi itu juga mengandung rima identik. Rima identik adalah rima yang ditimbulkan dari pengulangan diksi pada beberapa baris. Hal itu terlihat pada kata `dengan puisi aku` yang selalu diulang-ulang setiap dua baris sekali.
Pada puisi itu juga terdapat rima sempurna. Yang mana rima sempurna adalah pengulangan bunyi yang berupa bunyi vocal dan konsonan yang secara bersamaan pada suatu kata yang berurutan. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini yang menampilkan pengulangan konsonan dan vocal secara berurutan yaitu pu.

Dengan puisi pun aku bercinta

Dalam versifikasi, selain trdapat rima, juga ada irama. Irama menunjukkan bunyi panjang pendeknya suara dan tinggi rendahnya suara. Bunyi panjang pendek dan tinggi rendah akan timbul dari irama yang ada. Irama yang membuat diksi itu menumbuhkan kesan kemerduan, kesan nuansa makna tertentu.

4.      Bahasa Kias
Umumnya, bahasa kias selalu ditemukan dalam sebuah puisi. Begitu juga pada puisi di atas. Puisi itu mengandung beberapa bahasa kias yang mungkin sulit untuk diartikan tanpa menghubungkan dengan kata lain sebelum atau sesudahnya. Hal itu karena kata kias yang digunakan merupakan satu kesatuan kata dalam frase.

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi pun aku bercinta
Berbatas car wula
                        Dengan puisi aku mengarang
                        Keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
                        Dengan puisi aku mengutak
                        Nakas jaman yang busuk

Pada kutipan di atas, ada beberapa baris puisi yang ditulis tebal. Itu adalah beberapa bentuk bahasa kias yang digunakan pengarang pada puisi yang dia buat.
Pada baris tebal pertama `sampai senja umurku nanti` hal itu mengungkapkan tentang kematian. `Berbatas car wula` maksudnya adalah batas usia. `Keabadian yang akan datang` maksudnya tentang kematian dunia kedua ataupun tentang surge dan neraka kelak. ` jarum waktu bila kejam mengiris` yang berarti kisah lama yang sangat tragis. Dan `nakas jaman yang busuk` adalah tentang keadaan yang tidak baik.

5.      Tipografi
Tipografi merupakan tampilan wajah puisi yang dibuat oleh pengarang. Puisi di atas memiliki tampilan bait yang tidak seragam. Penulisan antara bait yang satu dengan bait yang lainnya tidak lurus kiri, namun ada perbedaan atau selang yang dibuat agak menjorok dari garis batas kiri, sehingga ada perbedaan penulisan posisi antara bait yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, ada kombinasi jumlah baris pada tiap bait. Pada bait pertama terdiri atas empat baris. Namun, pada bait selanjutnya hanya terdiri atas dua baris saja. Penulisan puisi itu tidak menggunakan tanda baca, sehingga kita tidak bisa mengikuti intonasi melainkan menciptakan intonasi sendiri. Puisi itu juga menggunakan kombinasi huruf capital dan huruf kecil. Tidak ditulis dengan huruf kecil semua dan juga tidak huruf capital semua. Namun, ditulis sesuai menulis sebuah kailimat diawali dengan huruf kapital tetapi tidak berakhir dengan titik.


6.      Enjambemen
Enjambemen selalu ada pada suatu puisi. Enjambemen berfungsi untuk memperkuat makna dan sebagai tempat pengambilan nafas pada saat pembacaan puisi. Enjambemen dapat dilakukan pada tiap satuan kata, baris atau bait. Namun, pada umumnya, pemenggalan itu terjadi pada setiap satu satuan baris. Jadi, antara baris satu dan satunya terjadi pemenggalan pengucapan. Namun, pada puisi ini, pemenggalan dilakukan pada tiat beberapa kata. Karena pada puisi itu terdapat empat kata pada setiap barisnya, maka pemenggalan dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan dua kata-dua kata pada satu baris.

Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti

Pada kutipan di atas, kita dapat mengambil makna pada tiap satuan kelompok kata yang dalam satu penggalan. Jadi, bila dituliskan seperti kalimat biasa, puisi itu menjadi `dengan puisi,aku bernyanyi, sampai senja, umurku nanti`. Melihat pemenggalan tersebut, kita bisa mengibaratkan pemenggalan itu sebagai pengganti tanda baca yang tidak dihadirkan oleh pengarang.

7.      Sarana Retorika
Sarana retorika pada suatu puisi meliputi majas. Majas mempunyai berbagai macam bentuk yang tergabung pada kelompok yang berbeda. Pada puisi di atas, terlihat adanya perumpamaan yaitu pengarang mengumpamakan puisi sebagai suatu yang bisa digunakan untuk apa saja. Puisi dianggap sebagai suatu sarana atau alat.

Dengan puisi aku bernyanyi

Dengan puisi pun aku bercinta

Dengan puisi aku mengarang

Dengan puisi aku menangis

Dengan puisi aku mengutak

Dengan puisi aku berdoa

Kutipan itu membuktikan bahwa pengarang menggunakan suatu puisi untuk bernyanyi, bercinta, mengarang, menangis, menguntak, dan berdoa. Berdasarkan kutipan itu, puisi dianggap sebagai sarana atau teman atau alat yang digunakan seseorang dalam melakukan aktivitasnya.

8.      Citraan
Pencitraan akan selalu hadir dalam suatu puisi. Hal itu karena, suatu puisi tidak akan lepas dari penginderaan manusia. Kata-kata yang dirangkai itu akan merangsang indera manusia untuk seolah-olah ikut menikmati dan merasakan.
Terdapat banyak pencitraan pada puisi diatas, misalnya :
·         Citraan penglihatan
Citraan penglihatan terlihat pada kutipan dibawah ini.

Dengan puisi pun aku bercinta

Dengan puisi aku mengarang

Dengan puisi aku bernyanyi

Dengan puisi aku mengutak

Dengan puisi aku berdoa


Pada kutipan itu, kita sebagai pembaca bisa ikut merasakan tentang apa yang sedang terjadi. Seolah-olah kita melihat orang bercinta, mengarang, menangis, menguntak, dan berdoa. Dengan penggambaran semacam itu, indera kita dapat menikmati karena pada dasarnya kata-kata itu juga dibentuk dari penginderaan yang dilakukan oleh pengarang.
·         Citraan pendengaran
Citraan pendengaran adalah daya imaji yang dilakukan oleh pembaca berdasarkan apa yang diterima oleh alat pendengarannya. Dari diksi-diksi pada puisi, indera pendengar pembaca seolah-olah bisa ikut merasakan kondisi yang ada.

Dengan puisi aku bernyanyi

Dengan puisi aku menangis

Berdasarkan kutipan di atas, kita sebagai pembaca puisi seakan-akan dibawa oleh pengarang untuk mendengarkan suara nyanyian dan tangisan.

·         Citraan perabaan
Citraan perabaan merupakan imaji yang dihasilkan oleh indera peraba manusia.  Indera peraba itu tidak lain adalah kulit.

Jarum waktu bila kejam mengiris

Dengan melihat dan membaca kata dalam puisi itu kita akan ikut merasakan dan membayangkan betapa pedihnya jika anggota tubuh kita diiris. Mungkin semacam itu yang dibayangkan oleh pembaca ketika membaca puisi tersebut.

·         Citraan penciuman
Citraan penciuman yang berkerja adalah hidung kita. Dengan kata pun hidung kita bisa merasakan suatu bau tertentu sesuai apa yang disampaikan oleh kata itu. Namun, hasil penciuman yang didapat bukanlah berwujud nyata melainkan hanya dalam bayangan semata.

Nakas jaman yang busuk


B.     Unsur Batin

1.      Makna dan Rasa
Suatu puisi dibuat guna menyampaikan pesan yang berupa makna kepada pembaca. Oleh karena itu setiap puisi pasti mengandung makna. Makna yang terkandung dalam puisi tersebut adalah suatu curahan hati seseorang tentang kondisi hidupnya. Orang atau tokoh aku yang ditampilkan oleh pengarang itu seolah-olah dia melakukan apa saja dengan menggunakan puisi. Tokoh aku berusaha untuk menerima kenyataan yang ada setelah masa lalu yang dialaminya berlalu walaupun kenyataan itu menyakitkan sekalipun. Tokoh aku bertekad untuk menerobos masa depan yang baik.
Rasa yang ditimbulkan oleh pengarang dari puisinya tersebut adalah perasaan menyesal, sakit hati, kepedihan,dan penyesal terhadap sesuatu yang dilakukannya pada masa dulu. Hal itu terlihat dari kata-kata ynag dipilih oleh pengarang untuk mengungkapkan pesan itu.

2.      Nada dan Suasana
Nada merupakan sikap pengarang terhadap pembaca. Berdasarkan puisi di atas, pengrang berusaha untuk meceritakan kisah hidup seseorang dalam menghadapi hidupnya yang tidak selalu berjalan baik dan menyenangkan. Pengarang memberitahu pembaca bahwa walaupun kita dalam kondisi yang terpuruk atau sakit sekalipun, kita tetap harus bangkit dan sesegera mungkin menata diri kembali untuk menyongsong kehidupan mendatang.  Kita tidak harus selalu dalam keterpurukan. Oleh pengarang, untuk melepaskan atau alat yang digunakan untuk mengungkapkan itu adalah puisi.
Suasana merupakan tanggapan atau sikap pembaca setelah membaca puisi dan mengetahuimakna atau pesan yang disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan makna puisi itu, pembaca akan melakukan ynag terbaik untuk hidupnya. Pembaca tidak akan menyesali dan terpuruk dalam kesedihan masa lalu. Selain itu, pikiean pembaca juga akan terbuka untuk melakukan hal yang benar-benar bermanfaat.









VI.            Puisi Doa karya Chairil Anwar

DOA

                        (kepada pemeluk teguh)

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengutuk
aku tidak bisa berpaling

(Chairil Anwar)


Analisis :
Berdasarkan jenis kata yang digunakan mengandung banyak makna kias, cerita tidak disampaikan secara langsung, sehingga puisi itu bisa digolongkan bermotif prismatic.

A.    Struktur Fisik

1.      Diksi
Puisi yang berjudul  doa karya Chairil Anwar di atas, merupakan jenis puisi prismatic. Hal itu terlihat dari sesunan katanya yang tidak langsung memancarkan makna. Jadi, untuk mendapatkan makna yang kita cari, maka pembaca harus mengira-ira maksud dari tiap kata atau baris.
Pada puisi itu, pengarang menggunakan diksi yang sederhana, namun dari diksi ynag sederhana itu timbul rangkaian bahasa kias. Mengenai diksi, pengarang menggunakan kata yang berlainnan untuk menyebutkan makna yang sama. Misal, pada puisi di atas dituliskan kata `penuh menyeluruh` dua kata itu hampir sama maknanya, namun oleh pengarang digunakan secara bersamaan. Kata itu sesungguhnya bukan makna yang sebenarnya. Oleh pengarang, kata `penuh menyeluruh ` itu merupakan gambaran tuhan yang benar-benar ada . Selain itu, pada puisi itu juga terdapat kata atau diksi `hilang bentuk` hal ini bermakna kehancuran. Jika pengarang langsung saja menggunakan kata hancur, walaupun maknanya sama, namun keutuhan makna dalam baris tidak akan terbentuk sempurna.

2.      Bunyi
Bunyi yang dihasilkan dari rangkaian kata-kata dalam puisi di atas, sangat menarik dan bisa membantu menegaskan makna. Pada bait pertama yang hanya terdiri atas satu baris saja menampilkan bunyi yang utuh ynag terpancar dari kata `teguh`. Bunyi u merupakan bunyi bulat yang utuh dan sangat mantap untuk kesan suara berat. Apalagi diikuti dengan bunyi h yang merupakan penutup suara. Jadi peran bunyi h adalah untuk mengakhiri bunyi u yang dilafalkan sebelumnya.

kepada pemeluk teguh

Bunyi yang ditampilkan oleh pengarang pada puisi itu sangat teratur dan seragam. Selalu ada persamaan bunyi akhir walaupun hanya dua baris saja yang sama. Persamaan bunyi akhir juga bervariasi antara pasangan baris satu dengan yang lainnya.

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Kesamaan bunyi akhir u pada tiga baris sekaligus menimbulkan kesan yang mendalam. Karena bunyi u merupakan bunyi yang bulat dan utuh. Bunyi u dapat menimbulkan kemerduan. Selain bunyi u yang berdiri sendiri tanpa penutup, ada juga bunyi u yang disrtai penutup yang berupa huruf konsonan h yang merupakan unsur titik bagi bunyi u.
Biar susah sungguh
mengingat kau penuh seluruh

Bunyi i juga yang ditampilkan pada akhir baris puisi tersebut. Setelah bunyi u yang bulat, dilanjutkan bunyi i yang tinggi, maka akan menimbulkan variasi bunyi ynag bisa berpengaruh dengan irama.
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

3.      Versifikasi
Pada puisi yang berjudul `doa` di atas mengandung rima akhir, rima identic, asonansi, dan juga aliterasi.
Rima akhir yang dominan adalah u dan i. Bunyi u memberikan kesan yang penuh atau bulat. Dengan bunyi u juga bisa memberikan kesan menguatkan makna. Selain u, ada juga bunyi i. Bunyi I disini memberikan kesan nada tinggi. Kombinasi bunyi u dan I membuat nada pengucapan pada puisi relative beragam.
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Dalam puisi itu juga terdapat asonansi e, u, dan i. Asonansi yang beragam membuat puisi terkesan mempunyai bunyi yang bervariasi. Bunyi yang bervariasi membuat puisi semakin indah, karena suara yang dihasilkan beraram dan tidak menimbulkan rasa bosan. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini.

mengingat kau penuh seluruh             (asonansi e)
kepada pemeluk teguh                         (asonansi e)
Biar susah sungguh                            (asonansi u)
di pintuMu aku mengutuk                   (asonansi u)
aku tidak bisa berpaling                      (asonansi i)
aku mengembara di negeri asing        (asonansi i)

Selain asonansi, ada juga aliterasi.

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

Ada rima identik dalam puisi tersebut. Rima identic ini akan mempertegas makna, karena terjadi pengulangan kata atau diksi pada beberapa bait. Rima identic yang terdapat pada puisi itu adalah kata `Tuhanku`. Kata ini digunakan secara berulang karena sesuai dengan judul puisi yaitu doa, sehingga kata itu akan lebih menunjukkan pada makna doa yang ditujukan padanya.
Selain rima identic, ada juga rima rupa pada kata `penuh` dan `seluruh`.

mengingat kau penuh seluruh



4.      Bahasa kias
Pada puisi doa karya Chairil Anwar, terdapat beberapa bahasa kias, diantaranya `penuh seluruh` yang berarti sungguh-sungguh ada. Bahas kias itu digunakan untuk memperindah puisi dan juga untuk memadatkan makna. Selain itu, ada kata `hilang bentuk` yang berarti tidak berwujud lagi. Untuk mempersingkat kata, maka pengarang menggunakan istilah semacam itu. Kata `mengembara ke negeri asing` juga merupakan ungkapan dalam bahasa kias yang berarti kebingungan. Tokoh aku merasa bingung dengan hidup yang sedang dijalaninya.
Bahasa kias yang digunakan oleh pengarang membuat puisi semakin padat. Pemadatan ini mempengruhi bentuk puisi dan unsur keindahannya pula.

5.      Tipografi
Bentuk wajah yang ditampilkan pada puisi tersebut lumayan menarik. Walaupun penulisannya rata kiri dan bagian kanan terlihat tidak teratur, namun terkesan singkat dan indah karena tiap baris puisi hanya disusun oleh beberapa kata saja. Jadi, baris-baris dalam puisi itu tidak panjang-panjang, melainkan pendek. Selain jumlah kata yang menyusun baris, wajah puisi juga dibentuk oleh penyusunan puisi yang dibuat berbait-bait, tidak hanya utuh dalam satu bait saja. Puisi itu juga dibuat dengan kombinasi huruf kecil dan huruf capital. Ada beberapa baris yang penulisannya menggunakan awalan huruf kapital, namun ada juga yang diawali dengan huruf kecil. Hal itu mungkin berpengaruh pada pemenggalan pada puisi.

6.      Enjambemen
Pemenggalan atau enjambemen yang dapat dilakukan pada puisi itu misalnya seperti berikut.
Pada bait pertama:
Tuhanku /
Dalam termangu /
Aku / masih menyebut / namaMu //

Pemenggalan itu mempunyai arti tentang keadaan tokoh aku yang dalam keragu-raguannya dia tetap menyebut tuhannya.
Pada bait kedua:

Biar susah / sungguh/
mengingat kau / penuh seluruh
cayaMu / panas suci
tinggal kerdip lilin / di kelam sunyi//

Pemenggalan ini mewakili makna puisi yaitu tentang kehidupan tokoh aku yang sedang susah yang hanya mendapatkan sedikit pengasihan dari tuhannya sehingga dia mulai sadar bahwa tuhan itu ada wujudnya yang selalu memancarkan kenikmatan pada makhluknya.
Pemenggalan selanjutnya adalah :

Tuhanku /

aku hilang / bentuk
remuk/

Tuhanku/

aku mengembara/ di negeri asing//

Tuhanku/
di pintuMu/ aku mengutuk//
aku / tidak bisa berpaling//

Pemenggalan itu juga memberikan pengaruh pada proses pemaknaan. Selain itu, pemenggalan juga berfugsi sebagai penekanan makna dan pengambilan nafas pada saat membaca.




7.      Sarana Retorika
Pada puisi itu mengandung beberapa majas, misalnya majas hiperbola, yang mana dengan kata itu, pengarang terkesan melebih-lebihkan makna atau keadaan yang sedang terjadi.
aku hilang bentuk
remuk
Ada juga majas personifikasi yang mana pengarang mengibaratkan benda mati seolah-olah hidup. Hal ini guna membangkitkan kesan yang menarik dan mendalam.

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Selain dua majas di atas, ada juga majas metafora yang terlihat pada baris dibawah ini.
aku  mengembara di negeri asing

Pada kutipan itu, tokoh aku yang sedang mengalami kebingungan diibaratkan seolah-olah dia sedang mengembara di negeri asing.    

8.      Citraan
Ada beberapa citraan dalam puisi di atas, yaitu :
·         Citraan penglihatan (visual)

Tuhanku
Dalam termangu

Setelah membaca kata tersebut, pembaca seolah-olah melihat ada seseorang yang sedang terdiam.
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Rangkaian kata itu mengajak kita melihat seberkas cahaya kecil walaupun itu hanya sebuah perumpamaan semata

·         Citraan pendengaran (audio)
Aku masih menyebut namaMu
Dari kata-kata itu, kita seolah-olah diajak oleh pengarang untuk mendengar pengucapan tokoh aku dalam menyebut nama tuhannya.

·         Citraan perabaan
cayaMu panas suci

Pengarang ingin menyampaikan kesan panas yang dirasakan oleh tokoh aku melalui kutipan kata tersebut.

·         Citraan perasaan
Biar susah sungguh

Dari kata itu pengarang memberikan kesan yang menyedihkan yang dirasakan oleh tokoh aku. Bahwa dia merasa benar-benar susah.

B.     Struktur Batin

1.      Makna dan rasa
Makna yang ingin disampaikan pengarang dalam puisi tersebut adalah tentang seseorang yang sedang mengalami kesusahan ynag mendalam dan dia merasa jauh dengan tuhannya. Dia merasa tuhan sudah tidak lagi sayang padanya karena tuhan membiarkan dia dalam kebingungan bak mengembara ke negeri asing. Tokoh aku mewakili orang-orang yang hampir melupakan tuhannya karena alasan sesuatu. Dalam penyesalannya tokoh aku berpasrah pada tuhannya. Hal itu membuktikan bahwa kita sebagai makhluk tuhan tidak bisa lepas dari tuhan.
Rasa susah yang mendalam dan penuh dengan kebingungan dirasakan oleh tokoh aku. Perasaan seperti itu ikut dirasakan oleh pembaca saat membaca puisi tersebut dan memahami makna yang ada di dalamnya. Makna dan rasa itu akan menyatu dalam hati dan memberikan pesan yang positif maupun negative kepada pembaca. Itulah tujuan pengarang menghadirkan puisi semacam itu, agar kita selalu ingat pada tuhan, karena sesungguhnya hidup ini diatur oleh-Nya.

2.      Nada dan suasana
Melalui puisi itu, pengarang berusaha menasehati dan mengingatkan kita para pembaca supaya selalu ingat kepada tuhan. Tuhan adalah makhluk yang nyata dan benar-benar ada. Jadi, kita tidak boleh meragukan keberadaannya.
Setelah membaca puisi itu, pembaca akan merasakan perenungan dan instropeksi diri apakan selama ini dia sudah melakukan yang selaras ataukah belum. Jadi, melalui puisi itu, pembaca bisa berkaca tentang dirinya sendiri.













VII.            Puisi Burung Kesepian karya Jamal D. Rahman
Burung Kesunyian

burung itu membangun sarang. merajut cericit. merangkai
kicau. mengisi teduh jiwaku di perbatasan sunyi

diamlah yang menggelombang di langit-langit waktu.
                                                                        mengaliri
lelembah hatiku yang terjal. dan aku hanya mampu berdiri,
besedekap di keluasan langit : dari rindu ke rindu,
permukaan hatimu telah kulayari
sebelum burung itu selesai membangun sarang matahari

(Jamal D. Rahman)

Analisis :
Berdasarkan jenis kata yang digunakan mengandung banyak makna kias, cerita tidak disampaikan secara langsung, sehingga puisi itu bisa digolongkan bermotif prismatic.

A.    Struktur  Fisik

1.      Diksi
Pilihan diksi yang digunakan oleh pengarang lumayan bervariasi. Pengarang berusaha menggunakan diksi yang berhubungan dengan alam. Hal itu terlihat pada beberapa kata yang ada pada beberapa baris tersebut. Misal kata ` sarang, menggelombang, mengaliri, lelembah, terjal, kulayari, matahari, dan langi`. Kata-kata itu merupakan sekumpulan kata yang berhubungan dengan alam. Sarang yang berarti rumah burung yang berada di alam bebas, menggelombang yang semakna dengan gelombang yang umumnya berada di laut, mengaliri yang merupakan proses perjalanan benda cair yang biasanya berupa air, lelembah yang berarti lembah atau bagian dari kaki gunung, terjal yang berarti sesuatu yang sangat tajam atau tidak rata atau yang berhubungan dengan kedalaman suatu tempat, kulayari yang berarti pelayaran yang biasanya perbuatan yang dilakukan di laut bebas. Pengarang berusaha membandingkan dan meperjelas makna yang ingin disampaikannya dengan kiasan bahasa atau kejadian-kejadian alam. Dengan itu, pengarang berusaha menimbulkan kesan yang alami dan fresh.

2.      Bunyi
Melihat tampilan puisi yang tidak beraturan itu, menurut saya pengarang tidak begitu memperhatikan unsur keindahan yang berasal dari bunyi kata. Hal itu terlihat pada diksi-diksi yang dituliskannya sangat beraneka ragam sehingga sulit bagi kita untuk menemukan bunyi yang seragam atau yang salin mengiringi sehingga terkesan indah. Namun, walupun sedikit memaksa, terdapat keseragaman bunyi pada akhir baris, yaitu :

burung itu membangun sarang. merajut cericit. merangkai
kicau. mengisi teduh jiwaku di perbatasan sunyi

Bunyi I yang ada pada kata itu merupakan bunyi tinggi yang menggantung, karena kalimat itu masih berhubungan dengan kata pada baris setelahnya. Selain bunyi I yang terdapat pada akhir baris, ada juga bunyi u yang secara berurutan dipakai pada kata yang sama.

besedekap di keluasan langit : dari rindu ke rindu,

3.      Versifikasi
Pada puisi itu ada asonansi a, e , dan u. Hal itu teterlihat pada kutipan dibawah ini.

burung itu membangun sarang. merajut cericit. merangkai
kicau. mengisi teduh jiwaku di perbatasan sunyi

diamlah yang menggelombang di langit-langit waktu.
                                                                      mengaliri
lelembah hatiku yang terjal. dan aku hanya mampu berdiri,
bersedekap di keluasan langit : dari rindu ke rindu,
permukaan hatimu telah kulayari
sebelum burung itu selesai membangun sarang matahari

Bunyi asonansi itu membuat unsur keindahan pada puisi. Keberagam bunyi asonansi akan menekankan pada makna dan berpengaruh pada pengucapan kata-kata itu. Apakan kata itu haru diucapkan bulat seperti bunyi u ataukah dengan nada tinggi seperti bunyi i, atau hanya denagn suara lemah saja seperti bunyi e dan a.
Selain asonansi, ada satu alitersi pada puisi tersebut. Aliterasi itu juga timbul dari kata ulang.

diamlah yang menggelombang di langit-langit waktu.

Tidak ada rima yang serupa, rima sempurna, maupun rima identik pada puisi itu.
Irama yang terjadi pada puisi itu merupakan irama tinggi dan rendah. Hal itu terlihat pada kata-kata yang ada kebanyakan mengandung unsur bunyi i.

4.      Bahasa Kias
Pada puisi ini terdapat banyak bahasa kias karena puisi ini termasuk dalam puisi prismatic. Kata `mengisi teduh jiwaku` yang dimaksud disini adalah cinta yang ada dihati. `menggelombang dilangit-langit waktu` maksudnya sesuatu yang masih dalam angan-angan. `bersedekap di keluasan langit` artinya berdiam diri. `permukaan hatimu telah kulayari` maksudnya jatuh hati.
Kata-kata semacam itu merupakan kata kias belaka. Pengiasan kata semacam itu dimasudkan untuk memperindah rangkaian kata dalam puisi.

5.      Tipografi
Tampilan wajah puisi yang ada pada puisi itu sangat unik. Puisi itu terkesan tidak mengalami pemadatan, namun dibentuk seperti kalimat yang memperhatikan tanda baca. Hal itu terbukti pada puisi itu terdapat tanda baca titik dan koma. Wajah puisi itu tidak teratur. Puisi itu dibentuk oleh dua bit saja yang mana jumlah baris tiap bait tidak sama. Pada bait pertama hanya terdapat dua baris saja. Dua baris itu dibagi menjadi tiga kalimat yang mana terlihat ada dua titik. Pada bait ketiga terdiri atas enam baris. Tiap baris mempunyai jumlah kata yang berbeda-beda. Bait kedua ini merupakan bait yang seolah-olah seperti suatu paragraph karena pada bait itu terdapat keterkaitan antara baris satu dengan yang lainnya.
Selain dibentuk dari susunan kata pada baris dan bait, wajah puisi itu juga dibentuk dari tanda baca. Tanda baca yang terdapat pada puisi itu adalah titik, koma, dan titik dua. Penulisan puisi itu seperti kumpulan kalimat yang diberi tanda baca, namun pada awal kalimat tidak semuanya menggunakan hurug capital.
Kombinasi tampilan seperti ini memberikan kesan yang unik pada puisi.

6.      Enjambemen
Pemenggalan pada puisi digunakan pada saat pembacaan puisi, karena pemenggalan itu berguna untuk pengambilan nafas dan juga penekanan makna.

burung itu / membangun sarang.// merajut cericit.// merangkai
kicau. // mengisi teduh jiwaku/ di perbatasan sunyi//

diamlah / yang menggelombang / di langit-langit waktu.//
                                                                      mengaliri/
lelembah hatiku / yang terjal.// dan aku / hanya mampu berdiri,/
bersedekap di keluasan langit /: dari rindu /ke rindu,//
permukaan hatimu / telah kulayari/
sebelum burung itu / selesai / membangun / sarang matahari//

Pada puisi itu sudah terdapat tanda baca yang berupa titik dan koma, sehingga pemenggalan kata disesuaikan dengan tanda baca tersebut. Namun, karena ada beberapa kalimat yang panjang, maka terjadi pemenggalan di tengah-tengah kalimat.

7.      Sarana Retorika
Terdapat beberapa perumpamaan pada puisi tersebut, misalnya suatu kesedihan diumpamakan dengan hati yang terjal. Selain itu, pengarang menggunakan unsur metafora pada kata `bersedekap di keluasan langit` yang manarangkaian kata itu merupakan perumpamaan tidak langsung dari posisi berdiri.

8.      Citraan
Terdapat beberapa citraan pada puisi tersebut, yaitu :
·         Citraan penglihatan (visual)
Dengan citraan ini, pengarang berusaha mengajak pembaca untuk ikut menikmati dan melihat kejadian yang digambarkannya melalui rangkaian kata pada puisi tersebut.

burung itu membangun sarang. merajut cericit. merangkai
kicau. mengisi teduh jiwaku di perbatasan sunyi

Dari kata-kata tersebut kita serasa ikut melihat seekor burung sedang membuat sarangnya.

lelembah hatiku yang terjal. dan aku hanya mampu berdiri,
bersedekap di keluasan langit : dari rindu ke rindu,

·         Citraan pendengaran (audio)

burung itu membangun sarang. merajut cericit. merangkai
kicau. mengisi teduh jiwaku di perbatasan sunyi

Melalui kata-kata itu, alat pendengaran kita serasa terangsang dan melakukan fungsinya untuk mendengar. Dengan kata-kata itu, kita dibawa oleh pengarang dalam alam lepas yang penuh dengan bunyi kicauan burung liar.

·         Citraan perabaan

lelembah hatiku yang terjal. dan aku hanya mampu berdiri,

Kata terjal selain menimbulkan pencitraan penglihatan, juga menimbulkan citraan perabaan karena terjal merupakan sejenis tekstur suatu benda yang bisa diraba oleh alat indera kita.


B.     Struktur Batin

1.      Makna dan rasa
Pada puisi itu terkandung makna tentang kisah seseorang yang sedang jatuh cinta atau kasmaran.  Timbulnya rasa suka itu diibaratkan dengan burung yang sedang merajut sarangnya.  Perlahan-lahan orang itu berusaha menikmati perasaan ynag sedang dia alami. Dia merasakan kerinduan yang mendalam. Dia merasa rasa cintanya itu sudah menelusp jauh pada seseorang. Sekarang dia hanya bisa berdiam diri dalam penantian yang belum pasti.
Rasa yang tercermin dalam puisi itu adalah rasa resah dan gelisah karena perasaan cinta seseorang yang tidak segera mendapat balasan karena masih dalam penantian. Dia merasa rindu yang tak berujung pada orang itu.

2.      Nada dan suasana
Melaui puisi itu, pengarang bermaksud bercerita tentang seseorang yang sedang mengalami kesunyian dalam hidup karena rasa cinta yang dia hadapi. Pengrang juga ingin menasihati bahwa cinta itu bukan semata-mata perasaan yang indah, namun juga cinta bisa membuat kita merasakan kehidupan yang tidak baik.
Setelah membaca puisi itu,  mungkin pembaca akan ikut merasakan kesedihan dan kehampaan dari tokoh yang digambarkan dalam puisi itu. Pembaca akan mengambil manfaat yang positif dari rangkaian cerita yang ditampilkan oleh puisi itu.














BAB III
PENUTUP
I.                   Simpulan
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang memiliki unsur fisik dan unsur batin. Melalui kedua unsur tersebut, kita dapat mengapresiasi suatu puisi. Dari beberapa puisi di atas, tidak semua puisi masuk dalam jenis puisi yang sama. Selain itu, walaupun unsur pembentuk puisi itu sama antara satu puisi dengan puisi yang lainnya, namun wujud dari unsur-unsur itu berbeda-beda sesuai dengan kreatifitas masing-masing pengarang.

II.                Saran
Sebelum melakukan apresiasi suatu puisi, sebaiknya kita mengetahui unsur pebangun puisi.


















DAFTAR PUSTAKA


Djoko Pradopo, Rachmat.1990. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Srtuktur dan Semiotik.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

D Jamal, Rahman. 2003. Reruntuhan Cahaya. Yogyakarta : Bentang Budaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar