Jumat, 07 September 2012

orientalisme dan materialisme

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu budaya kita mengenal beberapa teori antara lain: evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme, simbolisme, materialisme dan orientalisme, kemudian postmodernisme. Dari teori-teori tersebut diadaptasi dalam konsep kebudayaan. Perkembangan dan perjalanan dari masing-masing teori tersebut di atas sesuai dengan zamannya di kala itu, baik dari keadaan masyarakatnya maupun pengaruh dari tokoh-tokoh pencetusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dalam makalah ini membahas mengenai “Materialisme dan Orientalisme”. Pembahasan akan dikupas dalam Bab III ISI, yaitu pengertian materialisme, materialisme kebudayaan, kekurangan dan kelebihan materialisme, sejarah orientalisme, pengertian orientalisme, dan wujud pergerakan orientalisme.

1.2.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1)      Apakah definisi atau pengertian dari materialisme?
2)      Apakah yang dimaksud dengan materialisme kebudayaan?
3)      Apa sajakah kekurangan dan kelebihan materialisme?
4)      Bagaimanakah sejarah orientalisme?
5)      Apakah definisi atau pengertian dari orientalisme?
6)      Apakah wujud pergerakan orientalisme?

1.3.     Tujuan
1)      Mengetahui dan mengerti definisi atau pengertian dari materialisme.
2)      Mengetahui dan mengerti apakah yang dimaksud materialisme kebudayaan.
3)      Mengetahui kekurangan dan kelebihan materialisme.
4)      Mengetahui dan mengerti sejarah orientalisme.
5)      Mengetahui dan mengerti definisi atau pengertian dari orientalisme.
6)      Mengetahui wujud pergerakan orientalisme.


BAB II
ISI

2.1.     Definisi atau Pengertian Materialisme
Materialisme adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi).
Materialisme menekankan pada cinta kebendaan karena kehidupan spiritual tidak lagi penting. Orang-orang yang menganut paham materialisme ini tidak mampu memahami apalagi menghayati sesuatu yang bukan benda sifatnya seperti perasaan saling membantu, kasih dan maaf. Materialisme bersumber dari filsafat Yunani klasik yang dipelopori oleh Democritus dan Leucippus. Kedua filosof Yunani klasik ini menekankan bahwa alam semesta ini terdiri atas hanya atom. Setelah alirn Yunani klasik tersebut mengenai materilisme lahir, berbagai gagasan berkembang yang pada dasarnya menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah bendawi sifatnya. Bahkan, seperti telah diuraikan terdahulu, Thomas Hobbes pada abad ke 17 mengutarakan bahwa perasaan juga disebabkan oleh pergerakan zat dalam otak.
Dari definisi materialisme itu jelaslah bahwa benda adalah segala-galanya. Lambat laun, materialisme menjadi aliran yang menekankan pemujaan pada kebendaan atau kemakmuran. Bagi yang menganut paham ini yang penting adalah kemampuan individu dan kebebasannya meraih harta menurut dalilnya sendiri-apakah caranya halal atau haram tidak penting lagi. Inilah salah satu dampak yang buruk dari dunia Barat yang sulit dielakkan oleh sebagian besar masyarakat pengusaha di tanah air. Dalam era globalisasi, kelihatannya penyakit-penyakit masyarakat di negara-negara maju sebagai hasil dari materialisme, Hedonisme, dan sekulerisme itu juga menerobos ke tanah air. Bahkan ada teknokrat di zaman Orde Baru yang mengatakan Mekkah adalah pusat tourisme yang terbear di dunia yang menghasilkan masukan negara terbesar. Teknokrat tersebut melihat ibadah haji hanya dari segi materi saja. Ia menyamakan Jemaah haji dengan turis ke Mekkah karena ia dipengaruhi oleh paham sekulerisme; kehidupan spiritualisme tdak penting baginya.
Zaman Orde Baru, dengan konsep dasar para kaum elitis atau teknokrat dalam pembangunan bangsa ini yang menekankan sekulerisme dan materialisme, manusia-manusia unggul dalam dunia usaha karena unsur-unsur KKN muncul. Pendewaan kekayaan merajarela. Penumpukan kekayaanpun subur. Orang-orang yang memiliki uang bermilyar-milyar bahkan bertriliyun-triliyun menjelma dalam diri pengusaha raksasa. Tidak sedikit orang-orang kaya memiliki rumah di luar negeri khususnya di Amerika Serikat dan Inggris. Itulah orang-orang yang mengandalkan kemampuan manusia. Mereka tidak merasa bersalah menumpuk kekayaan di tengah kemiskinan karena mereka merasa bukan menipu; mereka hanya menggunakan kecerdasan (human power) mereka mencari untung dan kekayaan sebanyak mungkin.
Kalau kita lihat apa yang terjadi di zaman Orde Baru, maka dalil keunggulan manusia tersebut di atas tidak dapat menghapus kebatilan, bahkan ia menghasilkan kebatilan dalam bentuk demoralisasi. Mungkin karena unsur “human power” dan unsur yang menyampingkan faktor Ketuhanan yang mengakibatkan demoralisasi pada zaman Orde Baru walaupun sesungguhnya kehidupan beragama, seperti dikemukakan terdahulu, dapat dikatakan semarak. Namun, karena derasnya arus globalisasi, pendewaan atas kesejahteraan dan harta mengalahkan norma-norma agama.
Jadi, zaman Orde Baru terjadi semacam juksteposisi atau kesejajaran antara kebaikan dan kebatilan yang akhirnya dimenangkan oleh kebatilan. Beberapa pengamat, antara lain, Dr. Sayuti Hasibuan menelaah bahwa zaman Orde Baru mencerminkan bentuk-bentuk negatif dari globalisasi dalam artian masyarakat telah berTuhankan pada kemakmuran. Hal ini, tejadi karena, antara lain, agama itu adalah milik ribadi sifatnya. Nilai-nilai agama tidak mempengaruhi kehidupan publik.
Materialisme adalah suatu cara pandang yang real terhadap dunia alam raya yang bersifat materi atau kebendaan. Dalam banyak hal materialisme lebih mampu menjelaskan fenomena cara pandang dunia dibanding paham idealisme yang diturunkan secara turun temurun. Materialisme adalah cara pandang abstraksi kebendaan yang ada di luar yang disebut matter dan yang ada di dalam memori otak yang disebut idea. Filsafat ini menegaskan bahwa pemikiran manusia berasal dari abstraksi materialnya. Sebagai contoh sederhana jika seorang anak yang tubuh materialnya bertinggi 150 cm dan ingin bermain basket dengan baik maka si anak itu akan berpikir untuk melatih meloncat lebih tinggi untuk bisa bersaing, namun bila tubuh material si anak itu bertinggi 180 cm anak itu tidak akan kerepotan berlatih meloncat untuk bisa bermain basket dengan baik. Dengan demikian filsafat ini adalah materi mendahului ide atau pikiran. Dengan adanya fakta materi terlebih dahulu baru anda bisa berpikir atau mempunyai ide.
Pada titik ini materialisme hanya sebagai ideologi, atau pengertian atau kerangka berpikir kaum materialis. Sedangkan jika materialisme ditarik kepada konteks kebudayaan akan menjadi sangat kompleks, terutama perangkat kebudayaan yang tidak hanya dihasilkan dari sebuah benda atau peninggalan saja.
“Ontologi kebudayaan mengandaikan adanya tiga lapis kebudayaan, yaitu ideofakt, sosiofakt, dan artefakt. Ideofakt adalah ide dan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat, yang kemudian dikonkretkan secara sosial menjadi perilaku, konvensi, dan tradisi sebagai sosiofakt, dan selanjutnya dimaterialisasikan dalam artefakt sebagai produk material kebudayaan. Sementara itu, ada 7 elemen kebudayaan yang masing-masing mengandung ideofakt, sosiofakt, dan artifakt tersebut. Yaitu, bahasa, religi, seni, pengetahuan, organisasi sosial, kekerabatan, dan ekonomi………Artefakt inilah yang kemudian disebuat kebudayaan materi (material culture), sementara dasar-dasar teoritis dan prinsip-prinsip epistemologisnya disebut materialisme budaya (cultural materialism)…………” Jamal D. Rahman.

2.2.     Materialisme Kebudayaan
Materialisme berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris, disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno-ekonomi dan tekno-lingkungan. Kebudayaan bukanlah hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektifitas, tetapi bersifat material, dapat jelas dan dapat diukur.
Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan sebagai kumpulan dari pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika.


2.3.     Kekurangan dan Kelebihan Materialisme
Ada pendapat dari salah satu tokoh yang menyatakan bahwa teori-teori dalam materialisme kebudayaan tidak operasional sehingga teri-teori tersebut tidak dapat diuji. Materialisme kebudayaan dengan pendekatan perilaku emik dianggap hanya cocok untuk menganalisis masyarakat berburu dan meramu. Materialisme kebudayaan terlalu mekanis dan deterministik, karena hanya memusatkan perhatian pada faktor-faktor teknologi dan lingkungan, sehingga menganggap bahwa individu tidak memainkan peran dalam proses sosiokultural.

2.4.     Sejarah Orientalisme
Orientalisme berasal dari bahasa latin, oriens yang berarti terbit atau hampir sama dengan bahasa Yunani he-oros yang berarti matahari terbit. Pengambilan istilah ini didasari pada fakta matahari yang terbit dari timur dan kemudian istilah ini melekat pada fakta-fakta atau mengungkap wacana tentang ketimuran. Sejarah tentang orientalisme sangatlah panjang. Pada tahun 1151 ada lukisan-lukisan anonim yang mengambil latar timur dan kemudian dikategorikan sebagai lukisan orientalisme dan kemudian menjadi koleksi eugene delacroix di museum Louvre Paris Perancis dengan judul The Reception of The Ambassador in Damascus. Fakta ini menggambarkan tentang timur sebagai objek kajian bagi barat.
Dalam suatu kunjungan ke Beirut selama perang saudara seorang wartawan Perancis melakukan kunjungan, dengan subjektifitas mutlak wartawan itu menulis tentang daerah pusat perdagangan yang porak poranda. Daerah ini digambarkan sebagai daerah tempat kisah-kisah timur (orient) nya Chateaubriand dan Nerval. Said (1978:1) berpendapat bahwa deskripsi tempat yang dilakukan oleh wartawan tersebut adalah benar dalam arti masyarakat mereka dan sejauh menyangkut kepentingan wartawan dan pembaca Perancisnya. Cara pandang ini memberikan sebuah alibi bahwa dalam orientalisme ada perbedaan cara pandang terhadap timur yaitu Eropa dan Amerika. Bagi orang-orang Amerika timur diartikan sebagai timur jauh, khususnya China dan Jepang. Sedangkan bagi orang-orang Perancis dan Inggris dan dalam kadar yang lebih rendah juga orang-orang Jerman, Spanyol, Portugal, Rusia dan Italia telah mempunyai tradisi yang sudah berumur lama dan mereka katakan orientalisme. Tradisi ini merupakan suatu cara memahami dunia timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat (Eropa). Bagi mereka timur bukan hanya dekat, ia juga merupakan koloni-koloni eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua, sumber peradaban-peradaban dan bahasa-bahasanya, saingan budayanya, dan salah satu imajinasinya yang paling dalam dan paling sering muncul sebagai dunia yang lain (Said, 1978:2 dalam Pengantar Ilmu Budaya hal. 128).
Dengan bertitik tolak pada abad ke 18, perjalanan pengertian orientalisme terus berkembang. Menurut Said (1978:4) menganggap orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai  Timur. Orientalisme secara sepihak menentukan apa yang dapat dikatakan tentang dunia timur dan merupakan jaringan kepentingan-kepentingan yang tidak terhindarkan dimana dunia timur menjadi pokok pembicaraan.   

2.5.     Definisi atau Pengertian Orientalisme
Paling tidak ada tiga istilah yang berkaitan dengan orientalisme. Ketiga istilah itu adalah:
1. Orient. Orient berarti wilayah timur, bangsa Timur atau kebudayaan Timur. Kata ini berlawanan dengan istilah Occident yang artinya barat, bangsa Barat atau kebudayaan Barat.
2. Orientalist. Orientalis adalah pada sarjana atau ahli tentang ketimuran. Mereka ini mempelajari budaya ketimuran. Mereka terdiri dari filolog, sosiolog, antropolog, linguism saitist dan juga teolog. Awalnya adalah studi ilmiah yang bersifat obtektif dan akademis. Namun sulitnya tujuan mulia itu kemudian diboncengi dengan kepentingan yang tidak baik misalnya kapitalisme yang muaraya menjadi kolonialisme.
3. Orientalism. Kata ini berasal dari kata Orient (timur) dan isme (paham). Jadi orientalisme adalah ideologi atau paham ketimuran. Dari pengertian itulah maka orientalisme mempunyai banyak pengertian.
Pengertian secara umum yang didefinisinya dibatasi oleh kata tersebut yaitu metode berpikir pola ala Barat. Metode ini menjadi landasan untuk menilai dan memperlakukan segala sesuatu bahwa ada perbedaan yang fundamental antara Barat dan bukan Barat dalam segala hal. Yang pertama merasa lebih unggul dalam masalah ras dan peradaban dibanding yang lain. Orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya. Ini bermula dari anggapan orang Barat yang merasa bahwa ras dan peradabannya lebih tinggi dari bangsa Timur. Tujuannya untuk menciptakan kostruksi sosial dunia Timur sebagaimana dikehendaki bangsa Barat. Bangsa Barat ingin merasa berada di negerinya sendiri ketika berada di Timur. Oleh karena itu dibangun dan diciptakanlah suasana seperti di barat, sehingga mereka merasa nyaman. Bagi mereka timur adalah sesuatu yang eksotis, sesuatu yang aneh yang berlainan dengan mereka (barat). Mereka tak ingin timur menjadi barat. Timur haruslah tetap menjadi timur, bahkan harus digali akar- akar tradisionalnya sehingga akan kelihatan aneh, berbeda dan eksotik. Inilah yang diinginkan oleh barat. Mereka lalu mengangkatnya dengan dalih kegiatan tourisme yang muaranya selain untuk pleasure juga kapital. Yang mereka inginkan adalah timur tetap menjadi timur, namun harus sesuai dengan apa yang diinginkan barat. Istilah Paris van Jawa untuk Kota Bandung misalnya, atau tulisan Kuntowijoyo tentang Solo yang diciptakan sebagai tempat yang menyenangkan bagi orang Belanda adalah contohnya. Mereka sendiri tak ingin tinggal di timur.
Tujuan lain adalah ingin membuat studi tentang dunia timur yang hasil penelitiannya dapat digunakan untuk meningkatkan status dan karier bangsa Barat. Mereka menguasai bangsa timur demi menunjang kepentingan barat. Mereka menyadari bahwa di negerinya bangsa sendiri sangat terbatas kesempatan untuk berkarier. Sumber daya alam negerinya terbatas, itulah makanya mereka kemudian mengadakan ekplorasi. Sulitnya aktivitas ini mereka lakukan dengan bersembunyi di balik tipu daya yang memperlihatkan seolah- olah sebagai kajian ilmiah yang obyektif.
Ketika orang mulai menyadari sesuatu yang dominan maka orientalisme ini digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi ideologi Barat. pengertian lanjut inilah yang dipakai oleh para akademisi baik Barat dan Timur dari hegemoni Barat. Mereka sadar bahwa antara Timur dan Barat adalah sama- sama mempunyai peran dalam rangka tampil diri sesuai kondisi yang dipunyai. Mereka juga mendekontruksi tatanan yang sudah established yang diciptakan oleh kekuasaan yang bercokol. Keadaan ini misalnya kelihatan pada tulisan- tulisan Edward Said.
Orientalisme dalam diri orang barat adalah kesediaan orang Eropa melemparkan opini mengenai hilangnya timur pada masyarakat padahal orang timur sendiri masih ada dan hidup. Bagi Barat, Timur merupakan produk orientalisme. Orientalisme itu sendiri merupakan tradisi pemahaman yang sudah berumur lama yang hidup dikalangan bangsa Eropa. Dalam hal ini Said (1978:1-4) memahami orientalisme sebagai berikut:
1.    Orientalisme merupakan suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat Eropa. Dalam hal ini timur merupakan wilayah yang menjadi sumber imajinasi orang Eropa dan menjadi bagian integral dari peradaban dan kebudayaan material Eropa.
2.    Aktifitas akademis yang mengarahkan perhatiannya pada timur dengan segala otoritasnya. Orientalisme dapat pula diartikan sebagai suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis (berdasarkan karakter manusia) dan epis temologis yang dibuat antara timur dengan barat. Dengan demikian orientalisme mencakup sekaligus penyair, novelis, filosof, teoretikus politik, ekonom, dan bahkan para administrator negara, yang menerima pembedaan diatas sebagai titik tolak untuk menyusun teori, epik, novel, deskripsi sosial dan sebagainya.
3.    Secara historis dan materia, orientalisme dapat pula diartikan sebagai sebuah wacana dalam pengertian Foucoult. Dalam pengertian demikian, orientalisme dapat dianalisis dan dibahas sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia timur. Dengan kata lain, orientalisme pada dasarnya adalah gaya barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur. Karena itu, orientalisme menjadi keseluruhan jaringan kepentingan yang secara tak terhindarkan berkaitan dengan setiap perbincangan mengenai Timur.

2.6.     Pergerakan Orientalisme
Beberapa hal berikut merupakan salah satu cara memahami pergerakan orientalisme sebagai poros legitimasi oleh barat terhadap timur (menurut Edward Said dalam Pengantar Ilmu Budaya hal. 131-132).
1.    Orientalisme mempunyai koherensi internal yang di dalamnya segala pernyataan yang dibuat mengenai Timur dapat dikaitkan kembali dengannya.
2.    Ide-ide, budaya-budaya, dan sejarah-sejarah tidak dapat dipelajari tanpa mempelajari juga kekuatan, atau lebih tepatnya konfigurasi-konfigurasi kekuatannya. Timur sebagai bangsa yang hampir musnah dan tidak berperadapan, menurut deskripsi Barat, selayaknya mendapat pelajaran dari barat. Ini adalah salah satu titik permasalahannya.
3.    Orientalisme yang bukan fantasi kosong yang merupakan teori yang sengaja diciptakan, yang sepanjang banyak generasi telah menerima timbunan investasi material yang sangat besar, kemudian menjadi modal besar yang terkuasai oleh semua bentuk tindakannya.
4.    Dalam konteks konfigurasi kekuasaan ini, teori Gramsci mengenai masyarakat politik dan masyarakat sipil, dominasi dan hegemoni, dapat menjadi alat analisis yang penting.
Menurut Said ( Orientalisme:1978) memadukan wilayah yang sangat luas dan cukup mendetail, dan karena bahan yang diteliti amat luas dan beragam tersebut, meliputi berbagai pandangan abstrak mengenai timur dan juga karya-karya individual seperti novelis dan sejenisnya sehingga dapat terjadi distorsi dan ketidakpastian dalam penentuan objek. Dalam hal ini Said mencoba mengatasi dengan mengemukakan tiga aspek kekinian dirinya:
1.    Pengetahuan murni dan pengetahuan politis. Ilmu budaya, karya-karya budaya dan ilmu pengetahuan dipandang netral secara politik. Tapi Said tidak lagi percaya pada hal itu ada pertalian yang erat dengan politik. Orientalisme menurutnya lebih merupakan penyebaran kesadaran-kesadaran geopolitis ke dalam naskah-naskah estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi. Orientalisme adalah rincian atas perbedaan geografis yang pokok (dunia barat dan dunia timur yang tidak sederajat) tetapi juga pembagian atas seluruh rangkaian kepentingan yang ada.
2.    Masalah Metodologis. Persoalan pertama bagi Said adalah persoalan pembatasan masalah dan bahan karena bahan orientalisme sangat banyak dan beragam. Untuk mengatasi hal itu, ia memberikan pembatasan pertama pada problematika yang ingin dibahas, yaitu gagasan Eropa tentang dunia timur. Pembatasan kedua adalah pengalaman Inggris, Perancis, dan Amerika mengenai dunia Arab dan Islam.
3.    Pembatasan pada penulisan yang tidak sekadar naratif, deskriptif, dan ensiklopedik, melainkan pengaruh politis dan ideologis atau imperialisme terhadap gagasan mengenai Timur itu. Permasalahan yang kedua adalah persoalan peralatan metodologis yang digunakan dalam diskripsi dan analisis.
Bagi Said, pemahaman mengenai orientalisme yang dilakukannya tidak pernah terlepas  dari dirinya sendiri sebagai orang Timur yang tinggal di Amerika. Baginya, kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menciptakan “manusia Timur” dan dalam arti tertentu melenyapkannya sebagai manusia, bukanlah masalah yang semata-mata bersifat akademis. Sebagai orang Timur yang tinggal di Amerika, persoalan itu baginya adalah juga persoalan politis dan psikologis.


BAB III
PENUTUP

3.1.     Simpulan
Materialisme menekankan pada cinta kebendaan karena kehidupan spiritual tidak lagi penting. Orang-orang yang menganut paham materialisme ini tidak mampu memahami apalagi menghayati sesuatu yang bukan benda sifatnya seperti perasaan saling membantu, kasih dan maaf.
Orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya. Ini bermula dari anggapan orang Barat yang merasa bahwa ras dan peradabannya lebih tinggi dari bangsa Timur. Tujuannya untuk menciptakan kostruksi sosial dunia Timur sebagaimana dikehendaki bangsa Barat.





















DAFTAR PUSTAKA

Sztompka, Piotr.2007.Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group
Rangkuti, Sofia,Hasibuan.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.  Jakarta : Dian Rakyat
Saifuddin, Achmad Fedyani.2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta: Kencana Media Group
Mujianto, Yan, dkk.2010. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing
Elmubarok, Zaim,dkk.2009. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing



Orientalisme

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu budaya kita mengenal beberapa teori antara lain: evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme, simbolisme, materialisme dan orientalisme, kemudian postmodernisme. Dari teori-teori tersebut diadaptasi dalam konsep kebudayaan. Perkembangan dan perjalanan dari masing-masing teori tersebut di atas sesuai dengan zamannya di kala itu, baik dari keadaan masyarakatnya maupun pengaruh dari tokoh-tokoh pencetusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dalam makalah ini membahas mengenai “Materialisme dan Orientalisme”. Pembahasan akan dikupas dalam Bab III ISI, yaitu pengertian materialisme, materialisme kebudayaan, kekurangan dan kelebihan materialisme, sejarah orientalisme, pengertian orientalisme, dan wujud pergerakan orientalisme.

1.2.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1)      Apakah definisi atau pengertian dari materialisme?
2)      Apakah yang dimaksud dengan materialisme kebudayaan?
3)      Apa sajakah kekurangan dan kelebihan materialisme?
4)      Bagaimanakah sejarah orientalisme?
5)      Apakah definisi atau pengertian dari orientalisme?
6)      Apakah wujud pergerakan orientalisme?

1.3.     Tujuan
1)      Mengetahui dan mengerti definisi atau pengertian dari materialisme.
2)      Mengetahui dan mengerti apakah yang dimaksud materialisme kebudayaan.
3)      Mengetahui kekurangan dan kelebihan materialisme.
4)      Mengetahui dan mengerti sejarah orientalisme.
5)      Mengetahui dan mengerti definisi atau pengertian dari orientalisme.
6)      Mengetahui wujud pergerakan orientalisme.


BAB II
ISI

2.1.     Definisi atau Pengertian Materialisme
Materialisme adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi).
Materialisme menekankan pada cinta kebendaan karena kehidupan spiritual tidak lagi penting. Orang-orang yang menganut paham materialisme ini tidak mampu memahami apalagi menghayati sesuatu yang bukan benda sifatnya seperti perasaan saling membantu, kasih dan maaf. Materialisme bersumber dari filsafat Yunani klasik yang dipelopori oleh Democritus dan Leucippus. Kedua filosof Yunani klasik ini menekankan bahwa alam semesta ini terdiri atas hanya atom. Setelah alirn Yunani klasik tersebut mengenai materilisme lahir, berbagai gagasan berkembang yang pada dasarnya menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah bendawi sifatnya. Bahkan, seperti telah diuraikan terdahulu, Thomas Hobbes pada abad ke 17 mengutarakan bahwa perasaan juga disebabkan oleh pergerakan zat dalam otak.
Dari definisi materialisme itu jelaslah bahwa benda adalah segala-galanya. Lambat laun, materialisme menjadi aliran yang menekankan pemujaan pada kebendaan atau kemakmuran. Bagi yang menganut paham ini yang penting adalah kemampuan individu dan kebebasannya meraih harta menurut dalilnya sendiri-apakah caranya halal atau haram tidak penting lagi. Inilah salah satu dampak yang buruk dari dunia Barat yang sulit dielakkan oleh sebagian besar masyarakat pengusaha di tanah air. Dalam era globalisasi, kelihatannya penyakit-penyakit masyarakat di negara-negara maju sebagai hasil dari materialisme, Hedonisme, dan sekulerisme itu juga menerobos ke tanah air. Bahkan ada teknokrat di zaman Orde Baru yang mengatakan Mekkah adalah pusat tourisme yang terbear di dunia yang menghasilkan masukan negara terbesar. Teknokrat tersebut melihat ibadah haji hanya dari segi materi saja. Ia menyamakan Jemaah haji dengan turis ke Mekkah karena ia dipengaruhi oleh paham sekulerisme; kehidupan spiritualisme tdak penting baginya.
Zaman Orde Baru, dengan konsep dasar para kaum elitis atau teknokrat dalam pembangunan bangsa ini yang menekankan sekulerisme dan materialisme, manusia-manusia unggul dalam dunia usaha karena unsur-unsur KKN muncul. Pendewaan kekayaan merajarela. Penumpukan kekayaanpun subur. Orang-orang yang memiliki uang bermilyar-milyar bahkan bertriliyun-triliyun menjelma dalam diri pengusaha raksasa. Tidak sedikit orang-orang kaya memiliki rumah di luar negeri khususnya di Amerika Serikat dan Inggris. Itulah orang-orang yang mengandalkan kemampuan manusia. Mereka tidak merasa bersalah menumpuk kekayaan di tengah kemiskinan karena mereka merasa bukan menipu; mereka hanya menggunakan kecerdasan (human power) mereka mencari untung dan kekayaan sebanyak mungkin.
Kalau kita lihat apa yang terjadi di zaman Orde Baru, maka dalil keunggulan manusia tersebut di atas tidak dapat menghapus kebatilan, bahkan ia menghasilkan kebatilan dalam bentuk demoralisasi. Mungkin karena unsur “human power” dan unsur yang menyampingkan faktor Ketuhanan yang mengakibatkan demoralisasi pada zaman Orde Baru walaupun sesungguhnya kehidupan beragama, seperti dikemukakan terdahulu, dapat dikatakan semarak. Namun, karena derasnya arus globalisasi, pendewaan atas kesejahteraan dan harta mengalahkan norma-norma agama.
Jadi, zaman Orde Baru terjadi semacam juksteposisi atau kesejajaran antara kebaikan dan kebatilan yang akhirnya dimenangkan oleh kebatilan. Beberapa pengamat, antara lain, Dr. Sayuti Hasibuan menelaah bahwa zaman Orde Baru mencerminkan bentuk-bentuk negatif dari globalisasi dalam artian masyarakat telah berTuhankan pada kemakmuran. Hal ini, tejadi karena, antara lain, agama itu adalah milik ribadi sifatnya. Nilai-nilai agama tidak mempengaruhi kehidupan publik.
Materialisme adalah suatu cara pandang yang real terhadap dunia alam raya yang bersifat materi atau kebendaan. Dalam banyak hal materialisme lebih mampu menjelaskan fenomena cara pandang dunia dibanding paham idealisme yang diturunkan secara turun temurun. Materialisme adalah cara pandang abstraksi kebendaan yang ada di luar yang disebut matter dan yang ada di dalam memori otak yang disebut idea. Filsafat ini menegaskan bahwa pemikiran manusia berasal dari abstraksi materialnya. Sebagai contoh sederhana jika seorang anak yang tubuh materialnya bertinggi 150 cm dan ingin bermain basket dengan baik maka si anak itu akan berpikir untuk melatih meloncat lebih tinggi untuk bisa bersaing, namun bila tubuh material si anak itu bertinggi 180 cm anak itu tidak akan kerepotan berlatih meloncat untuk bisa bermain basket dengan baik. Dengan demikian filsafat ini adalah materi mendahului ide atau pikiran. Dengan adanya fakta materi terlebih dahulu baru anda bisa berpikir atau mempunyai ide.
Pada titik ini materialisme hanya sebagai ideologi, atau pengertian atau kerangka berpikir kaum materialis. Sedangkan jika materialisme ditarik kepada konteks kebudayaan akan menjadi sangat kompleks, terutama perangkat kebudayaan yang tidak hanya dihasilkan dari sebuah benda atau peninggalan saja.
“Ontologi kebudayaan mengandaikan adanya tiga lapis kebudayaan, yaitu ideofakt, sosiofakt, dan artefakt. Ideofakt adalah ide dan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat, yang kemudian dikonkretkan secara sosial menjadi perilaku, konvensi, dan tradisi sebagai sosiofakt, dan selanjutnya dimaterialisasikan dalam artefakt sebagai produk material kebudayaan. Sementara itu, ada 7 elemen kebudayaan yang masing-masing mengandung ideofakt, sosiofakt, dan artifakt tersebut. Yaitu, bahasa, religi, seni, pengetahuan, organisasi sosial, kekerabatan, dan ekonomi………Artefakt inilah yang kemudian disebuat kebudayaan materi (material culture), sementara dasar-dasar teoritis dan prinsip-prinsip epistemologisnya disebut materialisme budaya (cultural materialism)…………” Jamal D. Rahman.

2.2.     Materialisme Kebudayaan
Materialisme berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris, disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno-ekonomi dan tekno-lingkungan. Kebudayaan bukanlah hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektifitas, tetapi bersifat material, dapat jelas dan dapat diukur.
Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan sebagai kumpulan dari pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika.


2.3.     Kekurangan dan Kelebihan Materialisme
Ada pendapat dari salah satu tokoh yang menyatakan bahwa teori-teori dalam materialisme kebudayaan tidak operasional sehingga teri-teori tersebut tidak dapat diuji. Materialisme kebudayaan dengan pendekatan perilaku emik dianggap hanya cocok untuk menganalisis masyarakat berburu dan meramu. Materialisme kebudayaan terlalu mekanis dan deterministik, karena hanya memusatkan perhatian pada faktor-faktor teknologi dan lingkungan, sehingga menganggap bahwa individu tidak memainkan peran dalam proses sosiokultural.

2.4.     Sejarah Orientalisme
Orientalisme berasal dari bahasa latin, oriens yang berarti terbit atau hampir sama dengan bahasa Yunani he-oros yang berarti matahari terbit. Pengambilan istilah ini didasari pada fakta matahari yang terbit dari timur dan kemudian istilah ini melekat pada fakta-fakta atau mengungkap wacana tentang ketimuran. Sejarah tentang orientalisme sangatlah panjang. Pada tahun 1151 ada lukisan-lukisan anonim yang mengambil latar timur dan kemudian dikategorikan sebagai lukisan orientalisme dan kemudian menjadi koleksi eugene delacroix di museum Louvre Paris Perancis dengan judul The Reception of The Ambassador in Damascus. Fakta ini menggambarkan tentang timur sebagai objek kajian bagi barat.
Dalam suatu kunjungan ke Beirut selama perang saudara seorang wartawan Perancis melakukan kunjungan, dengan subjektifitas mutlak wartawan itu menulis tentang daerah pusat perdagangan yang porak poranda. Daerah ini digambarkan sebagai daerah tempat kisah-kisah timur (orient) nya Chateaubriand dan Nerval. Said (1978:1) berpendapat bahwa deskripsi tempat yang dilakukan oleh wartawan tersebut adalah benar dalam arti masyarakat mereka dan sejauh menyangkut kepentingan wartawan dan pembaca Perancisnya. Cara pandang ini memberikan sebuah alibi bahwa dalam orientalisme ada perbedaan cara pandang terhadap timur yaitu Eropa dan Amerika. Bagi orang-orang Amerika timur diartikan sebagai timur jauh, khususnya China dan Jepang. Sedangkan bagi orang-orang Perancis dan Inggris dan dalam kadar yang lebih rendah juga orang-orang Jerman, Spanyol, Portugal, Rusia dan Italia telah mempunyai tradisi yang sudah berumur lama dan mereka katakan orientalisme. Tradisi ini merupakan suatu cara memahami dunia timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat (Eropa). Bagi mereka timur bukan hanya dekat, ia juga merupakan koloni-koloni eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua, sumber peradaban-peradaban dan bahasa-bahasanya, saingan budayanya, dan salah satu imajinasinya yang paling dalam dan paling sering muncul sebagai dunia yang lain (Said, 1978:2 dalam Pengantar Ilmu Budaya hal. 128).
Dengan bertitik tolak pada abad ke 18, perjalanan pengertian orientalisme terus berkembang. Menurut Said (1978:4) menganggap orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai  Timur. Orientalisme secara sepihak menentukan apa yang dapat dikatakan tentang dunia timur dan merupakan jaringan kepentingan-kepentingan yang tidak terhindarkan dimana dunia timur menjadi pokok pembicaraan.   

2.5.     Definisi atau Pengertian Orientalisme
Paling tidak ada tiga istilah yang berkaitan dengan orientalisme. Ketiga istilah itu adalah:
1. Orient. Orient berarti wilayah timur, bangsa Timur atau kebudayaan Timur. Kata ini berlawanan dengan istilah Occident yang artinya barat, bangsa Barat atau kebudayaan Barat.
2. Orientalist. Orientalis adalah pada sarjana atau ahli tentang ketimuran. Mereka ini mempelajari budaya ketimuran. Mereka terdiri dari filolog, sosiolog, antropolog, linguism saitist dan juga teolog. Awalnya adalah studi ilmiah yang bersifat obtektif dan akademis. Namun sulitnya tujuan mulia itu kemudian diboncengi dengan kepentingan yang tidak baik misalnya kapitalisme yang muaraya menjadi kolonialisme.
3. Orientalism. Kata ini berasal dari kata Orient (timur) dan isme (paham). Jadi orientalisme adalah ideologi atau paham ketimuran. Dari pengertian itulah maka orientalisme mempunyai banyak pengertian.
Pengertian secara umum yang didefinisinya dibatasi oleh kata tersebut yaitu metode berpikir pola ala Barat. Metode ini menjadi landasan untuk menilai dan memperlakukan segala sesuatu bahwa ada perbedaan yang fundamental antara Barat dan bukan Barat dalam segala hal. Yang pertama merasa lebih unggul dalam masalah ras dan peradaban dibanding yang lain. Orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya. Ini bermula dari anggapan orang Barat yang merasa bahwa ras dan peradabannya lebih tinggi dari bangsa Timur. Tujuannya untuk menciptakan kostruksi sosial dunia Timur sebagaimana dikehendaki bangsa Barat. Bangsa Barat ingin merasa berada di negerinya sendiri ketika berada di Timur. Oleh karena itu dibangun dan diciptakanlah suasana seperti di barat, sehingga mereka merasa nyaman. Bagi mereka timur adalah sesuatu yang eksotis, sesuatu yang aneh yang berlainan dengan mereka (barat). Mereka tak ingin timur menjadi barat. Timur haruslah tetap menjadi timur, bahkan harus digali akar- akar tradisionalnya sehingga akan kelihatan aneh, berbeda dan eksotik. Inilah yang diinginkan oleh barat. Mereka lalu mengangkatnya dengan dalih kegiatan tourisme yang muaranya selain untuk pleasure juga kapital. Yang mereka inginkan adalah timur tetap menjadi timur, namun harus sesuai dengan apa yang diinginkan barat. Istilah Paris van Jawa untuk Kota Bandung misalnya, atau tulisan Kuntowijoyo tentang Solo yang diciptakan sebagai tempat yang menyenangkan bagi orang Belanda adalah contohnya. Mereka sendiri tak ingin tinggal di timur.
Tujuan lain adalah ingin membuat studi tentang dunia timur yang hasil penelitiannya dapat digunakan untuk meningkatkan status dan karier bangsa Barat. Mereka menguasai bangsa timur demi menunjang kepentingan barat. Mereka menyadari bahwa di negerinya bangsa sendiri sangat terbatas kesempatan untuk berkarier. Sumber daya alam negerinya terbatas, itulah makanya mereka kemudian mengadakan ekplorasi. Sulitnya aktivitas ini mereka lakukan dengan bersembunyi di balik tipu daya yang memperlihatkan seolah- olah sebagai kajian ilmiah yang obyektif.
Ketika orang mulai menyadari sesuatu yang dominan maka orientalisme ini digunakan untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi ideologi Barat. pengertian lanjut inilah yang dipakai oleh para akademisi baik Barat dan Timur dari hegemoni Barat. Mereka sadar bahwa antara Timur dan Barat adalah sama- sama mempunyai peran dalam rangka tampil diri sesuai kondisi yang dipunyai. Mereka juga mendekontruksi tatanan yang sudah established yang diciptakan oleh kekuasaan yang bercokol. Keadaan ini misalnya kelihatan pada tulisan- tulisan Edward Said.
Orientalisme dalam diri orang barat adalah kesediaan orang Eropa melemparkan opini mengenai hilangnya timur pada masyarakat padahal orang timur sendiri masih ada dan hidup. Bagi Barat, Timur merupakan produk orientalisme. Orientalisme itu sendiri merupakan tradisi pemahaman yang sudah berumur lama yang hidup dikalangan bangsa Eropa. Dalam hal ini Said (1978:1-4) memahami orientalisme sebagai berikut:
1.    Orientalisme merupakan suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat Eropa. Dalam hal ini timur merupakan wilayah yang menjadi sumber imajinasi orang Eropa dan menjadi bagian integral dari peradaban dan kebudayaan material Eropa.
2.    Aktifitas akademis yang mengarahkan perhatiannya pada timur dengan segala otoritasnya. Orientalisme dapat pula diartikan sebagai suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis (berdasarkan karakter manusia) dan epis temologis yang dibuat antara timur dengan barat. Dengan demikian orientalisme mencakup sekaligus penyair, novelis, filosof, teoretikus politik, ekonom, dan bahkan para administrator negara, yang menerima pembedaan diatas sebagai titik tolak untuk menyusun teori, epik, novel, deskripsi sosial dan sebagainya.
3.    Secara historis dan materia, orientalisme dapat pula diartikan sebagai sebuah wacana dalam pengertian Foucoult. Dalam pengertian demikian, orientalisme dapat dianalisis dan dibahas sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia timur. Dengan kata lain, orientalisme pada dasarnya adalah gaya barat untuk mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur. Karena itu, orientalisme menjadi keseluruhan jaringan kepentingan yang secara tak terhindarkan berkaitan dengan setiap perbincangan mengenai Timur.

2.6.     Pergerakan Orientalisme
Beberapa hal berikut merupakan salah satu cara memahami pergerakan orientalisme sebagai poros legitimasi oleh barat terhadap timur (menurut Edward Said dalam Pengantar Ilmu Budaya hal. 131-132).
1.    Orientalisme mempunyai koherensi internal yang di dalamnya segala pernyataan yang dibuat mengenai Timur dapat dikaitkan kembali dengannya.
2.    Ide-ide, budaya-budaya, dan sejarah-sejarah tidak dapat dipelajari tanpa mempelajari juga kekuatan, atau lebih tepatnya konfigurasi-konfigurasi kekuatannya. Timur sebagai bangsa yang hampir musnah dan tidak berperadapan, menurut deskripsi Barat, selayaknya mendapat pelajaran dari barat. Ini adalah salah satu titik permasalahannya.
3.    Orientalisme yang bukan fantasi kosong yang merupakan teori yang sengaja diciptakan, yang sepanjang banyak generasi telah menerima timbunan investasi material yang sangat besar, kemudian menjadi modal besar yang terkuasai oleh semua bentuk tindakannya.
4.    Dalam konteks konfigurasi kekuasaan ini, teori Gramsci mengenai masyarakat politik dan masyarakat sipil, dominasi dan hegemoni, dapat menjadi alat analisis yang penting.
Menurut Said ( Orientalisme:1978) memadukan wilayah yang sangat luas dan cukup mendetail, dan karena bahan yang diteliti amat luas dan beragam tersebut, meliputi berbagai pandangan abstrak mengenai timur dan juga karya-karya individual seperti novelis dan sejenisnya sehingga dapat terjadi distorsi dan ketidakpastian dalam penentuan objek. Dalam hal ini Said mencoba mengatasi dengan mengemukakan tiga aspek kekinian dirinya:
1.    Pengetahuan murni dan pengetahuan politis. Ilmu budaya, karya-karya budaya dan ilmu pengetahuan dipandang netral secara politik. Tapi Said tidak lagi percaya pada hal itu ada pertalian yang erat dengan politik. Orientalisme menurutnya lebih merupakan penyebaran kesadaran-kesadaran geopolitis ke dalam naskah-naskah estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi. Orientalisme adalah rincian atas perbedaan geografis yang pokok (dunia barat dan dunia timur yang tidak sederajat) tetapi juga pembagian atas seluruh rangkaian kepentingan yang ada.
2.    Masalah Metodologis. Persoalan pertama bagi Said adalah persoalan pembatasan masalah dan bahan karena bahan orientalisme sangat banyak dan beragam. Untuk mengatasi hal itu, ia memberikan pembatasan pertama pada problematika yang ingin dibahas, yaitu gagasan Eropa tentang dunia timur. Pembatasan kedua adalah pengalaman Inggris, Perancis, dan Amerika mengenai dunia Arab dan Islam.
3.    Pembatasan pada penulisan yang tidak sekadar naratif, deskriptif, dan ensiklopedik, melainkan pengaruh politis dan ideologis atau imperialisme terhadap gagasan mengenai Timur itu. Permasalahan yang kedua adalah persoalan peralatan metodologis yang digunakan dalam diskripsi dan analisis.
Bagi Said, pemahaman mengenai orientalisme yang dilakukannya tidak pernah terlepas  dari dirinya sendiri sebagai orang Timur yang tinggal di Amerika. Baginya, kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menciptakan “manusia Timur” dan dalam arti tertentu melenyapkannya sebagai manusia, bukanlah masalah yang semata-mata bersifat akademis. Sebagai orang Timur yang tinggal di Amerika, persoalan itu baginya adalah juga persoalan politis dan psikologis.


BAB III
PENUTUP

3.1.     Simpulan
Materialisme menekankan pada cinta kebendaan karena kehidupan spiritual tidak lagi penting. Orang-orang yang menganut paham materialisme ini tidak mampu memahami apalagi menghayati sesuatu yang bukan benda sifatnya seperti perasaan saling membantu, kasih dan maaf.
Orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya. Ini bermula dari anggapan orang Barat yang merasa bahwa ras dan peradabannya lebih tinggi dari bangsa Timur. Tujuannya untuk menciptakan kostruksi sosial dunia Timur sebagaimana dikehendaki bangsa Barat.





















DAFTAR PUSTAKA

Sztompka, Piotr.2007.Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group
Rangkuti, Sofia,Hasibuan.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.  Jakarta : Dian Rakyat
Saifuddin, Achmad Fedyani.2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta: Kencana Media Group
Mujianto, Yan, dkk.2010. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing
Elmubarok, Zaim,dkk.2009. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing