GIGIH
WAHYU WIJAYANTI
2101410057
ROMBEL
02
PERBANDINGAN
PANTUN DAN PANTOUM
A.
PENGANTAR
Karya sastra memiliki berbagai macam
genre salah satunya yaitu pantun. Pantun merupakan salah satu genre sastra yang
mendunia. Di berbagai temat, pantun dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda.
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dengan
bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya dikenal sebagai parikan,
dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal
sebagai umpasa .
Pantun adalah genre kesusasteraan tradisional Melayu yang berkembang di seluruh dunia khususnya di Nusantara sejak
ratusan tahun lampau. Pantun
adalah simbol artistik masyarakat Nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan
berpikir. Pantun sering dijadikan sebagai alat komunikasi. Pantun bersifat ringkas, romantik dan mampu mengetengahkan aspirasi
masyarakat dengan lebih jelas. Ia begitu sinonim dengan pemikiran dan kebudayaan
masyarakat Nusantara danMalaysia.
Pantun di Malaysia dan
Indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu.Malah, ia mungkin berusia lebih
tua daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah
Melayu. Umumnya
terdapat dua jenis utama pantun iaitu pantun berkait dan pantun tidakberkait.Bilangan baris dalam setiap rangkap pantun
dikenali sebagai kerat. Lima bentukutama pantun ialah pantun dua kerat, pantun
empat kerat, pantun enam kerat, pantunlapan kerat dan pantun dua belas kerat. Pantun yang popular digunakan ialah pantundua kerat dan
empat kerat.Setiap pantun mesti mempunyai pembayang dan maksud pantun.
Pembayang dalam setiap rangkap adalah separuh pertama daripadakeseluruhan
jumlah baris dalam rangkap berkenaan. Separuh kedua dalam setiap rangkap pantun
pula ialah maksud atau isi pantun. Antara ciri-ciri lain yang ada dalam
sebuah pantun ialah pembayangnyamempunyai hubungan yang rapat dengan alam dan
persekitaran yang rapat denganpengucapnya.
Pantun mempunyai ciri khas yang membedakan
dibandingkan karya satra yang lain. Ciri pantun antara lain (1) terdiri atas
sejumlah baris yang selalu genap yang merupakan satu kesatuan yang disebut bait
(2) setia baris terdiri atas empat kata yang dibentuk oleh 8-12 suku kata (3)
separoh bait pertama merupakan sampiran, separoh bait selanjutnya merupakan isi
(4) persajakan antara sampiran dan isi selalu parallel (ab-ab atau abc-abc atau
abcd-abcd atau aa-aa).
Pantun dibedakan berdasarkan jumlah baitnya
yaitu pantun biasa, pantun kilat atau karmina, talibun, dan seloka.
Pada abad kesembilan belas pantun dibawa
oleh Voctor Hugoke dalam sastra Perancis. Victor Hugo, penyair Perancis yang
dianggap agung, pada tahun 1829 menghasilkan “Les Orientales” (Puisi-puisi
ketimuran) yang di dalamnya termuat “Les Papillons”, sebuah puisi yang memiliki
ciri-ciri pantun dan dinamakan “PANTOUM”.
Melalui “Larousse Encyclopedique” dapat
ditemukan catatan yang menyatakan bahwa “Pantoum” atau “Pantoun” itu merupakan
sejenis puisi berbentuk tetap yang dipinjamkan daripada puisi Melayu oleh kaum
romantis Perancis; dan dalam “Petit Robert” disebutkan bahwa pantoum adalah
sejenis puisi asli Melayu. Bentuk pantoum rupanya sangat digemari oleh
penyair-penyair romantis Perancis dan ditulis pada periode Romantisme atau pada
abad ke-19.
Bagi kaum romantis, manusia dan alam
metafisika merupakan sumber kekeyaan intuitif dan
aspirasi yang harus dipertahankan. Begitulah cita dan citra Romantisme, maka
tidak mengehrankan mengapa pantoum yang dimunculkan oleh Victor Hugo itu mudah
mendapat tempat dari hati penyair-penyair Romantis, yang kemudian mengikuti
jejak Victor Hugo dengan menghasilkan puisi yang bercirikan pantun, dengan
melakukan serba sedikit penyesuaian mengikuti cita rasa perpuisian dalam
kesusatraan Perancis.
B.
PERBANDINGAN
PANTUN DAN PANTOUM
Pada kegiatan membandingkan karya satra
yaitu pantun atau pantoum, kita perlu memperhatikan hubungan tiga unsur yaitu
unsur alam, unsur metafisik, dan perbuatan manusia yang menunjukkan penglibatan
diri. Hubungan ketiga unsur tersebut tidak sekadar menunjukkan
terwujudnya satu kesatuan, tetapi malah memiliki keharmonisan yang bersifat
intiutif. Selain
itu, ketiga syarat yang harus dipenuhi dalam pembandingan karya sastra adalah
berbeda bahasanya, berbeda wilayahnya, dan berbeda politiknya telah dipenuhi
oleh kedua karya sastra yang akan dibandingkan.
DENGARLAH PANTUN
Buah ara batang
dibantun
Mari dibantun dengan
parang.
Hai saudara dengarlah
pantun,
Pantun tidak mengata
orang.
Mari dibantun dengan
parang,
Berangan besar di
dalam padi.
Pantun tidak mengata
orang,
Janganlah syak di
dalam hati.
Berangan besar di
dalam padi,
Rumpun buluh dibuat
pagar.
Pantun tidak mengata
orang,
Maklumlah pantun saya
baru belajar.
Rumpun bulu dibuat
pagar,
Cempedak
dikerat-kerati.
Maklum pantun tidak
belajar,
Saya budak belum
mengerti.
(dari “PUISI LAMA” oleh
St. Takdir Alisyahbana)
VICTOR HUGO
LES PAPILLONS
Les papillons jouent
sur leurs ailes,Iis volent
Vers le mer, pres dela
chainedes Mon coeur
S’est sentir malade
dans ma poitrine
Depuis mes premiers
kours jus’qual’heure presente.
Iis volent vers le mer,
pres de la chaine de roches,
La vautour dirige son
essor vers Bandam.
Depuis mes premiers
kours jus’qual’heure presente.
J’ai admire bien
jaunes gens.
La vautour dirige son
essor vers Bandam
Et lisse tomber de ses
plums a Patani
J’ai admire bien jeunes
gens,
Mais nul n’ est a
comparer a L’objet de mon choix
Iilaisse tomber de ses
plumes a Patani
Voici deux jeunes
pigeons!
Aucum jeune homme ne
peut comparer a celui de mon choix,
Habile comme il l’est
a toucher le cour.
Terjemahan oleh Harry
Aveling
KUPU-KUPU
Kupu-kupu terbang
melintang,
Terbang di laut di
hujung karang.
Hati di dalam menaruh
bimbang,
Dari dahulu sampai
sekarang.
Terbang di laut di
hujung karang,
Burung besar terbang
ke Banda.
Dari dahulu hingga
sekarang,
Banyak muda sudah
kupandang
Burung besar terbang
ke Banda,
Bulunya lagi jatuh ke
pantai.
Banyak muda sudah
kupandang,
Tiada sama mudaku ini.
Bulunya lagi jatuh ke
Pantai,
Dua puluh anak
merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai
membujuk hati.
Dari kedua pantun dan
pantoum di atas, dapat dibandingkan dari segi lapis norma, lapis arti, lapis
dunia,dan lapis metafisis. Berdasarkan
lapis tersebut, pantun dan pantoum dapat dibandingkan sebagai berikut.
1.
Lapis norma
Lapis norma yang pertama adalah lapis bunyi. Rangkaian bunyi
yang terdapat pada puisis lama berjudul “Dengarlah Pantun” memiliki bunyi yang
cukup merdu. Bunyi akhir pada setiap bait tersebut memilki arti tersendiri.
Buah ara batang dibantun
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak mengata orang.
Bunyi akhir pada larik
pertama bait pertama “un” pada kata dibantun yang berarti “ditarik agar lepas”
memiliki kesesuaian dengan bunyi akhir pada larik ketiga pada kata pantun. Kata
pantun “un” memilki kesesuaian dengan larik kedua. Perbedaannya terdapat pada
nama masing-masing larik. Larik pertama tersebut disebut dengan sampiran, dan
larik ketiga disebut dengan isi. Bunyi akhir pada larik kedua yaitu “ang”.
Bunyi tersebut sama dengan bunyi akhir pada larik keempat. Parang pada larik
kedua tersebut memilki kesinambungan dengan kata dibantun pada larik pertama.
Kedua kata akhir tersebut memilki pengertian bahwa untuk membantun buah ara
tersebut ditarik agar lepas dengan menggunakan bantuan parang. Keempat bunyi
akhir tersebut disesuaikan dengan larik sebelum dan sesudahnya pada bait
tersebut, sehingga bunyi akhir memiliki arti tersendiri.
Kupu-kupu terbang melintang,
Terbang di laut di hujung karang.
Hati di dalam menaruh bimbang,
Dari dahulu sampai sekarang.
Bunyi akhir pada bait
pertama puisi lama yang berjudul “Kupu-Kupu” tersebut adalah ‘ang’. Semua larik
yang terdapat pada bait tersebut memilki bunyi akhir yang sama.
Keempat bunyi akhir tersebut
disesuaikan dengan konvensi bahasa pada masa itu. Bunyi akhir tersebut disusun
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan arti.
Mari dibantun dengan parang,
Berangan besar di dalam padi.
Pantun tidak mengata orang,
Janganlah syak di dalam hati.
Pada bait kedua, bunyi
akhir larik pertama adalah “ang”. Bunyi akhir tersebut sama dengan bunyi akhir
pada larik ketiga. Larik pertama memilki kata akhir yaitu orang, dan pada larik
ketiga memilki kata akhir orang. Persamaan bunyi akhir pada kedua kata tersebut
berarti adanya kesesuaian antara kedua larik tersebut. Persamaan bunyi akhir
pada larik kedua dan keempat adalah “i” pada kata “padi” dan “hati”. Kedua kata
tersebut bunyi akhirnya disesuaikan agar membentuk suatu arti.
Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang
Bunyi akhir pada bait kedua “Kupu-Kupu” tersebut memilki bunyi
akhir “ang”, “a”, “ang”, dan “ang”. Bunyi akhir pada larik kedua berbeda dengan
dengan bunyi akhir pada larik yang lainnya. Perbedaan bunyi akhir tesebut
menimbulkan kurangnya estetik atau keindahan pada pantun tersebut. Selain itu,
perbedaan bunyi kahir tersebut menimbulkan arti yang sukar untu ditebak karena
dirasa tidak berkesinambungan.
Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibuat pagar.
Pantun tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.
Pada bait ketiga puisi lama tersebut memilki bunyi akhir ‘i’,
‘ar’, ‘ang’, ‘ar’. Berbeda dengan bait-bait sebelumnya yang memilki kesamaan
bunyi akhir pada setiap larik, antara sampiran dan isi. Pada bait ketiga
tersebut memiliki bunyi akhir yang agak kacau. Larik ketiga pada bait tersebut
memilki keterkaitan dengan larik ketiga pada bait kedua, sehingga isi yang
terdapat pada pantun bait ketiga tersebut memilki kesinambungan dengan isi pada
bait kedua. Bunyi akhir yang terdapat pada bait tersebut tidak terlalu
berpengaruh terhadap isi yang ingin disampaikan oleh pentun tersebut, meskipun
dari segi keindahan bunyi akhir sangat kurang karena tidak memiliki kesamaan
pada bunyi akhir.
Burung besar terbang
ke Banda,
Bulunya lagi jatuh ke pantai.
Banyak muda sudah kupandang,
Tiada sama mudaku ini.
Bunyi akhir yang tedapat pada bait ketiga puisi “Kupu-Kupu”
tersebut ialah “a”, “i”, “ang”, dan “i”. Seperti halnya dengan bunyi akhir yang
terdapat pada bait kedua puisi lama tersebut, pada bait ketiga puisi lama
tersebut memiliki bunyi akhir yang berbeda setiap lariknya. Perbedaan bunyi
akhir tersebut tampaknya mengurangi keindahan pada pantun tersebut. Perbedaan
bunyi akhir dirasa mengganggu atau mempengaruhi arti yang terdapat dalam bait
tersebut sehingga antara sampiran dan isi kurang sesuai atau kaurang
nyambung.
Rumpun bulu dibuat pagar,
Cempedak dikerat-kerati.
Maklum pantun tidak belajar,
Saya budak belum mengerti.
Bunyi akhir pada bait
keempat yaitu ‘ar’, ‘i’, ‘ar’, ‘i’. Masing-masing bunyi akhir tesebut memilki
kesamaan dengan dengan bunyi akhir tiap larik antara sampiran dengan isi. Bunyi
akhir yang terdapat pada masing-masing larik pada bait tersebut menimbulkan
keindahan bunyi pada bait tersebut. Bunyi akhir pada bait tersebut menimbulkan
arti yang saling berkaitan.
Bulunya lagi jatuh ke
Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai
membujuk hati.
Bunyi akhir puisi lama
“Kupu-Kupu” pada bait keempat yaitu “i”. Keemapat larik tersebut memiliki
kesamaan bunyi akhir, namun cara pengucapannya berbeda. Hal tersebut terlihat
pada kata “pantai”. Kata “pantai” tersebut meskipun berakhiran dengan huruf
“i”, namun cara pengucapannya berbeda yaitu “ai”. Namun, perbedaan tersebut
tidak begitu mengurangi keindahan pada puisi lama tersebut, karena bunyi akhir
setiap larik pada bait tersebut hampir mirip meskipun tdak sama persis.
Perbedaan bunyi akhir pada salah satu larik pada bait tersebut, tidak begitu
berpengaruh terhadap isi pantun yang ingin disampaikan.
2.
Lapis arti
Lapis arti berupa
rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat.
Buah ara batang dibantun
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak mengata orang.
Isi yang terdapat dalam pantun tersebut adalah bahwa pantun
tidak pernah mengata orang. Hal tersebut dapat dilihat dari keterikatan atau
pertalian antara kata-kata yang terdapat dalam sampiran dan isi. Kata bantun
yang yang terdapat dalam bait tersebut berarti “menarik supaya lepas”. Kata
bantun tersebut diperkuat dengan kata parang. Parang merupakan senjata tajam.
Kaitan antara kata bantun dengan parang adalah jika ingin lepas haris dibantu
dengan senjata tajam yaitu parang.
Kata “bantun” pada larik pertama memiliki persamaan bunyi akhir
dengan “pantun” pada larik ketiga. Kata bantun yang memilki arti menarik supaya
lepas, diseimbangkan dengan kata “pantun” yang yang biasanya pantun tersebut
menarik orang untuk mendengarkannya. Persamaan bunyi akhir pada kata “bantun”
dan “pantun” memiliki kesamaan pada arti pula, yaitu sama-sama dugunakan untuk
menarik.
Kata “parang” tersebut berkaitan dengan kara “orang”. Parang
merupakan senjata tajam, dan orang pun dapat menjadi tajam dengan perkataannya.
Tajamnya orang dapat diibaratkan dengan parang. Disamakan ata dipadakan dengan
parang karena untuk menyamakan bunyi akhir pada pantun tersebut agar pantun
menjadi indah.
Kupu-kupu terbang melintang,
Terbang di laut di hujung karang.
Hati di dalam menaruh bimbang,
Dari dahulu sampai sekarang.
Arti yang terdapat pada serangkaian kata tersebut memiliki arti
yang culup luas. Pilihan kata yang digunakan untuk pantu tersebut merupakan
pilihan kata yang indah sehingga menimbulkan arti yang indah pula. Arti dari
serangkaian kata “terbang melintang” pada larik pertama berkaitan dengan kata
“bimbang” pada larik ketiga. Terbang melintang yang terdapat pada larik pertama
tersebut diibartakan sebagai orang yang sedang dalam kebimbangan sehingga ia
berjalan kesana kemari tak tentu arah tujuan. Seperti halnya dengan kata
“dihujung karang” dengan kata “sekarang”. Di hujung karang merupakan sebuah
ungkapan yang menandakan bahwa kehidupan yang tidak pernah berakhir meskipun
dalam goncangan ombak yang terus melanda hingga saat ini yang disimbolkan
dengan kata “sekarang”. Lapis ati yang terdapat pada bait tersebut memiliki
arti yang sangat dalam.
Mari dibantun dengan parang,
Berangan besar di dalam padi.
Pantun tidak mengata orang,
Janganlah syak di dalam hati.
Arti yang terdapat pada bait tersebut adalah mengenai kekurang
percayaan terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Serangkaian kata “dibantun
dengan parang” memiliki arti bahwa jika ingin melepaskan sesuatu agar lebih
mudak dibantu dengan senjata tajam. Senjata tajam tersebut dianalogikan dengan
perkataan orang. Perkataan orang yang sangat tajam yang biasa dilakukan tidak
terjadi pada pantun. Pantun biasnya berisi “penghalus” dari setiap perbuatan
atau perkataan. Jika orang mengatakan hal pedas mengenai diri sendiri atau
mengkritik diri dengan kata-kata pedasnya, selayaknya kita tidak perlu “syak”
di dalam hati, “Syak” yang dimaksudkan adalah rasa kurang percaya, tidak yakin,
dan ragu-ragu. Kekurangpercaan tersebut diakibatkan oleh perkataan atau
perbuatan orang terhadap diri kita.
Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang
Pantun tersebut memiliki arti perjuangan. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya larik yang berbunyi “terbang di laut di hujung karang,
dri dahulu hingga sekarang, banyak muda sudah kupandang” dari serangkaian kata
tersebut telah dapat membuktikan bahwa manusia yang dianalogikan dengan seekor
burung besar yang terbang ke Banda untuk mencari cinta sejatinya dari dahulu
hingga sekarang, hingga ia telah merasakan banyaknya lawan jenis yang sudah ia
kenal namun ia tetap dengan pendiriannya yang dibuktikan dengan adanya larik
“terbang di laut di hujung karang”. Larik tersebut menadakan bahwa sebesar
apapun badai atau ombak yang menimpanya ia tetap dapet terbang di ujung karang
yang berarti di tempat yang cukup berbahaya.
Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibuat pagar.
Pantun tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.
Arti yang terdapat pada bait ketiga puisi lama tersebut adalah
seseorang yang pempunyai pelindung atau pengetahuan walau hanya dengan belajar
perlahan. “Berangan besar di dalam padi” memilki arti yang cukup luas. Kata
padi biasanya digunakan untuk orang emiliki banyak ilmu yang kian berisi kian
merunduk. Angan-angan tersebut di tanam di dalam hatinya agar ketika ia menjadi
sesorang berhasil ia menjadi seperti padi, yang kian berisi kian merunduk.
“Rumpun buluh menjadi pagar”, serangkaian kata tersebut dapat diartikan bahwa
agama yang sudah ada pada diri seseorang harus dibuat pagar untuk menjaga iman
yang dimiliki seseorang karena setiap iman manusia memilki tingkatan yang
berbeda. “Pantun tidak mengata orang”, arti dari rangkaian kata tersebut adalah
bahwa pantun diibaratkan dengan orang yang telah mendalami ilmu padi sehingga
orang yang telah memiliki banyak ilmu tdak mungkin akan mencela orang lain
meskipun ilmu yang didapatkan masih jauh dari sempurna.
Burung besar terbang ke Banda,
Bulunya lagi jatuh ke pantai.
Banyak muda sudah kupandang,
Tiada sama mudaku ini.
Arti yang terdapat pada bait puisi lama tersebut adalah
kerapuhan karena sudah merasa cukup usia. Perjuangan yang dilakukan tak seperti
dulu ketika masih muda. “Bulunya lagi jatuh ke pantai”, rangkaian kata tersebut
menandakan bahwa seseorang yang terbang ke Banda atu negeri orang demi mencari
sang kekasih hati kini telah layu karena usia yang sudah cukup tua. Ketika ia
muda ia telah banyak mengecap banyak kehidupan, mengarungi liku-liku kehidupan.
Kini ia telah mencapai usia lanjut, perjuangannya tak seperti dahulu ketika ia
masih muda. Ia mulai loyo dan mulai jatuh perlahan.
Rumpun bulu dibuat pagar,
Cempedak dikerat-kerati.
Maklum pantun tidak belajar,
Saya budak belum mengerti.
Arti yang terdapat dalam bait tersebut adalah seseorang yang
memiliki iman atau pengetahuan yang cukup lembek atau kurang, sehingga harus
benar-benar dijaga agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang tidak diinginkan.
Cempedak merupakan nama buah seperti nangka namun memiliki daging buah yang
lebih lembek daripada nangka, sehingga dapat dianalogikan dari cempedak
tersebut bahwa seseorang yang memilki pengetahuan dan pengalaman yang dangkal
harus dipagar seperti dalam serangkaian kata “rumpu buluh dibuat pagar”. Buluh merupakan
nama lain dari bambu yang biasanya digunakan untuk dibuat pagar. Maka keimanan
atau pengetahuan seseorang yang belum benar-benar kuat harus dipagari seperti
pada ungkapan tersebut. Pada isi yang teradapat dalam bait tersebut
mencerminkan bahwa ia bukanlah orang yang telah memiliki banyak pengetahuan
atau pengalaman karena ia tidak belajar, sehingga dia tidak mengerti dengan apa
yang terjadi di sekelilingnya.
Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.
Arti pada bait tersebut adalah adanya atau datangnya kembali
penyemangat hidup yang tadinya semnagat untuk hidup telah musnah atau telah
tiada. Penyemangat itu dibawa oleh orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya
dan merasa iba melihat perjuanagn yang telah dilakukan. Semangat yang telah
jatuh kemudian datang kembali dengan dibawa oleh orang-orang disekitarnya.
Orang-orang disekitarnya pintar mebujuk hati sehingga semangat itu telah
kembali meskipun tak seperti ketika ia masih muda.
3.
Lapis dunia
Lapis dunia menggambarkan dunia pengarang yang digunakan untuk
mengungkapkan isi hatinya. Lapis dunia
yang digunakan pada puisi lama berjudul “Dengarlah Pantun” adalah diibaratkan
dengan ilmu padi dan kehidupan nyata seseorang. Sedangkan lapis dunia yang
digunakan pada “Kupu-Kupu” adalah suasana alam terbuka yang dimisalkan dengan
laut dan tempat atau wilayah lain bertolak dari keseharian manusia.
Bait pertama pada puisi lama “Dengarlah Pantun” memiliki dunia
bahwa manusia memilki sifat sperti parang, yang memilki perkataan yangs angat
tajam. Bait kedua memilki dunia bahwa menjadi seseorang harus seperi padi yang
tidak pernah menyakiti hati orang lain. Bait ketiga memiliki dunia harus saling
menjaga hati sesama, meskipun ilmu yang didapatkan belum sempurna. Begitupun
dengan bait keempat yang memiliki dunia bahwa seseorang yang memilki ilmu yang
cukup rendah harus benar-benar dijaga agar tidak mudah dibodohi oleh orang
lain.
Adapun bait pertama pada puisi lama berjudul “Kupu-Kupu” memilki
dunia bahwa seseorang yang memilki kebimbangan yang tak berujung, yang
dianalogikan dengan keadaan alam terbuka dengan buktu adanya burung dan laut,
sehingga cakupan dunia yang pengarang gunakan tidak hanya berkutat pada dalam
diri sesorang, melainkan pada dunia luar. Begitupun dengan bait kedua, ketiga,
dan keempat. Ketiga bait tersebut memilki persamaan dunia yaitu sama-sama
berada di sebuah kota atau wilayah tettentu yang menggambarkan alam terbuka
pula.
4.
Lapis Metafisis
Lapis metafisis berupakan lapis yang menumbulkan pembaca
tersebut merenungkan (berkontemplasi) isi dari setiap puisi lama yang
diungkapkan.
Lapis metafisis yang
terdapat pada puisi lama “Dengarlah Pantun” adalah setiap manusia hendaknya
tidak saling menyakiti dan saling menjaga hati agar tidak ada hati yang
tersakiti. Selain itu juga setiap manusia diharapkan untuk menuntut ilmu
setinggi-tingginya agar tdak mudah dibodohi oleh orang lain ataupun oleh
keadaan.
Lapis metafisis yang
terdapat pada puisi lama yang berjudul “Kupu-Kupu” mengajak kita untuk tak
pernah putus asa dalam menghadapi hidup dan selalu berjuang meskipun hingga ke
negeri orang untuk mencari pengalaman hidup.
C.
SIMPULAN
Berdasarkan pada pelaksanaan pembadingan
kedua puisi tersebut, persamaan kedua puisi tersebut adalah sama-sama menceritakn
tentang kehidupan manusia dan perjuangan untuk hidup. Sedangkan perbedaan dari
kedua puisi tersebut adalah jika puisi yang berjudul “Dengarlah Pantun”
menggunakan masyarakat dalam satu wilayah yaitu menggambarkan wilayah Indonesia
yang diidentikan dengan padi, sedangkan pada puisi kedua pencipta menggunakan
cakupan wilayah yang lebih luas yaitu menggunakan nama-nama daerah di negara
Eropa, sehingga cakupan pengungkapan wilayah pada puisi “Kupu-Kupu” lebih luas
jika dibandingkan dengan puisi “dengarlah Pantun”.
Pantun dan Pantoum tidak berdiri sendiri, tetapi
saling mempengaruhi. Di dalam ciri-ciri pantun terdapat genre pantoum sehingga
antara pantun dan pantoum tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling
mempengaruhi. Bahkan di dalam pembuatan pantoum cenerung mengabaikan ciri-ciri
pantaoum, tetapi terdapat ciri-ciri pantun di dalam pantoum tersebut.
Secara langsung pantun berpengaruh terhadap pantoum
di Perancis. Pada dasarnya, pantau merupakan tiruan atau saduran dari pantun,
karena jika dilihat dari sejarah dan ciri-ciri yang terdapat di dalam pantoum,
pantoum memilki ciri-ciri yang hampir sama dengan pantun, begitu pula dengan
bentuk yang dimiliki oleh pantoum memiliki bentuk yang sama dengan pantun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar