Selasa, 09 April 2013

Perbandingan Pantun Dan Pantoum

GIGIH WAHYU WIJAYANTI
2101410057
ROMBEL 02

PERBANDINGAN PANTUN DAN PANTOUM

A.    PENGANTAR
Karya sastra memiliki berbagai macam genre salah satunya yaitu pantun. Pantun merupakan salah satu genre sastra yang mendunia. Di berbagai temat, pantun dikenal dengan sebutan yang berbeda-beda. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dengan bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa .
Pantun adalah genre kesusasteraan tradisional Melayu yang berkembang di seluruh dunia khususnya di Nusantara sejak ratusan tahun lampau. Pantun adalah simbol artistik masyarakat Nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan berpikir. Pantun sering dijadikan sebagai alat komunikasi. Pantun bersifat ringkas, romantik dan mampu mengetengahkan aspirasi masyarakat dengan lebih jelas. Ia begitu sinonim dengan pemikiran dan kebudayaan masyarakat Nusantara danMalaysia.
Pantun di Malaysia dan Indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu.Malah, ia mungkin berusia lebih tua daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Umumnya terdapat dua jenis utama pantun iaitu pantun berkait dan pantun tidakberkait.Bilangan baris dalam setiap rangkap pantun dikenali sebagai kerat. Lima bentukutama pantun ialah pantun dua kerat, pantun empat kerat, pantun enam kerat, pantunlapan kerat dan pantun dua belas kerat. Pantun yang popular digunakan ialah pantundua kerat dan empat kerat.Setiap pantun mesti mempunyai pembayang dan maksud pantun. Pembayang dalam setiap rangkap adalah separuh pertama daripadakeseluruhan jumlah baris dalam rangkap berkenaan. Separuh kedua dalam setiap rangkap pantun pula ialah maksud atau isi pantun. Antara ciri-ciri lain yang ada dalam sebuah pantun ialah pembayangnyamempunyai hubungan yang rapat dengan alam dan persekitaran yang rapat denganpengucapnya.
Pantun mempunyai ciri khas yang membedakan dibandingkan karya satra yang lain. Ciri pantun antara lain (1) terdiri atas sejumlah baris yang selalu genap yang merupakan satu kesatuan yang disebut bait (2) setia baris terdiri atas empat kata yang dibentuk oleh 8-12 suku kata (3) separoh bait pertama merupakan sampiran, separoh bait selanjutnya merupakan isi (4) persajakan antara sampiran dan isi selalu parallel (ab-ab atau abc-abc atau abcd-abcd atau aa-aa).
Pantun dibedakan berdasarkan jumlah baitnya yaitu pantun biasa, pantun kilat atau karmina, talibun, dan seloka.
Pada abad kesembilan belas pantun dibawa oleh Voctor Hugoke dalam sastra Perancis. Victor Hugo, penyair Perancis yang dianggap agung, pada tahun 1829 menghasilkan “Les Orientales” (Puisi-puisi ketimuran) yang di dalamnya termuat “Les Papillons”, sebuah puisi yang memiliki ciri-ciri pantun dan dinamakan “PANTOUM”.
Melalui “Larousse Encyclopedique” dapat ditemukan catatan yang menyatakan bahwa “Pantoum” atau “Pantoun” itu merupakan sejenis puisi berbentuk tetap yang dipinjamkan daripada puisi Melayu oleh kaum romantis Perancis; dan dalam “Petit Robert” disebutkan bahwa pantoum adalah sejenis puisi asli Melayu. Bentuk pantoum rupanya sangat digemari oleh penyair-penyair romantis Perancis dan ditulis pada periode Romantisme atau pada abad ke-19.
Bagi kaum romantis, manusia dan alam metafisika merupakan sumber kekeyaan intuitif dan aspirasi yang harus dipertahankan. Begitulah cita dan citra Romantisme, maka tidak mengehrankan mengapa pantoum yang dimunculkan oleh Victor Hugo itu mudah mendapat tempat dari hati penyair-penyair Romantis, yang kemudian mengikuti jejak Victor Hugo dengan menghasilkan puisi yang bercirikan pantun, dengan melakukan serba sedikit penyesuaian mengikuti cita rasa perpuisian dalam kesusatraan Perancis.

B.     PERBANDINGAN PANTUN DAN PANTOUM
Pada kegiatan membandingkan karya satra yaitu pantun atau pantoum, kita perlu memperhatikan hubungan tiga unsur yaitu unsur alam, unsur metafisik, dan perbuatan manusia yang menunjukkan penglibatan diri. Hubungan ketiga unsur tersebut tidak sekadar menunjukkan terwujudnya satu kesatuan, tetapi malah memiliki keharmonisan yang bersifat intiutif. Selain itu, ketiga syarat yang harus dipenuhi dalam pembandingan karya sastra adalah berbeda bahasanya, berbeda wilayahnya, dan berbeda politiknya telah dipenuhi oleh kedua karya sastra yang akan dibandingkan.


DENGARLAH PANTUN

Buah ara batang dibantun
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak mengata orang.

Mari dibantun dengan parang,
Berangan besar di dalam padi.
Pantun tidak mengata orang,
Janganlah syak di dalam hati.

Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibuat pagar.
Pantun tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.

Rumpun bulu dibuat pagar,
Cempedak dikerat-kerati.
Maklum pantun tidak belajar,
Saya budak belum mengerti.
(dari “PUISI LAMA” oleh St. Takdir Alisyahbana)

VICTOR HUGO
LES PAPILLONS

Les papillons jouent sur leurs ailes,Iis volent
Vers le mer, pres dela chainedes Mon coeur
S’est sentir malade dans ma poitrine
Depuis mes premiers kours jus’qual’heure presente.

Iis volent vers le mer, pres de la chaine de roches,
La vautour dirige son essor vers Bandam.
Depuis mes premiers kours jus’qual’heure presente.
J’ai admire bien jaunes gens.

La vautour dirige son essor vers Bandam
Et lisse tomber de ses plums a Patani
J’ai admire bien jeunes gens,
Mais nul n’ est a comparer a L’objet de mon choix

Iilaisse tomber de ses plumes a Patani
Voici deux jeunes pigeons!
Aucum jeune homme ne peut comparer a celui de mon choix,
Habile comme il l’est a toucher le cour.

Terjemahan oleh Harry Aveling

KUPU-KUPU

Kupu-kupu terbang melintang,
Terbang di laut di hujung karang.
Hati di dalam menaruh bimbang,
Dari dahulu sampai sekarang.

Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang

Burung besar terbang ke Banda,
Bulunya lagi jatuh ke pantai.
Banyak muda sudah kupandang,
Tiada sama mudaku ini.

Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.

Dari kedua pantun dan pantoum di atas, dapat dibandingkan dari segi lapis norma, lapis arti, lapis dunia,dan  lapis metafisis. Berdasarkan lapis tersebut, pantun dan pantoum dapat dibandingkan sebagai berikut.
1.      Lapis norma
Lapis norma yang pertama adalah lapis bunyi. Rangkaian bunyi yang terdapat pada puisis lama berjudul “Dengarlah Pantun” memiliki bunyi yang cukup merdu. Bunyi akhir pada setiap bait tersebut memilki arti tersendiri.

Buah ara batang dibantun
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak mengata orang.

Bunyi akhir pada larik pertama bait pertama “un” pada kata dibantun yang berarti “ditarik agar lepas” memiliki kesesuaian dengan bunyi akhir pada larik ketiga pada kata pantun. Kata pantun “un” memilki kesesuaian dengan larik kedua. Perbedaannya terdapat pada nama masing-masing larik. Larik pertama tersebut disebut dengan sampiran, dan larik ketiga disebut dengan isi. Bunyi akhir pada larik kedua yaitu “ang”. Bunyi tersebut sama dengan bunyi akhir pada larik keempat. Parang pada larik kedua tersebut memilki kesinambungan dengan kata dibantun pada larik pertama. Kedua kata akhir tersebut memilki pengertian bahwa untuk membantun buah ara tersebut ditarik agar lepas dengan menggunakan bantuan parang. Keempat bunyi akhir tersebut disesuaikan dengan larik sebelum dan sesudahnya pada bait tersebut, sehingga bunyi akhir memiliki arti tersendiri.

Kupu-kupu terbang melintang,
Terbang di laut di hujung karang.
Hati di dalam menaruh bimbang,
Dari dahulu sampai sekarang.

Bunyi akhir pada bait pertama puisi lama yang berjudul “Kupu-Kupu” tersebut adalah ‘ang’. Semua larik yang terdapat pada bait tersebut memilki bunyi akhir yang sama.
            Keempat bunyi akhir tersebut disesuaikan dengan konvensi bahasa pada masa itu. Bunyi akhir tersebut disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan arti.

Mari dibantun dengan parang,
Berangan besar di dalam padi.
Pantun tidak mengata orang,
Janganlah syak di dalam hati.
          
 Pada bait kedua, bunyi akhir larik pertama adalah “ang”. Bunyi akhir tersebut sama dengan bunyi akhir pada larik ketiga. Larik pertama memilki kata akhir yaitu orang, dan pada larik ketiga memilki kata akhir orang. Persamaan bunyi akhir pada kedua kata tersebut berarti adanya kesesuaian antara kedua larik tersebut. Persamaan bunyi akhir pada larik kedua dan keempat adalah “i” pada kata “padi” dan “hati”. Kedua kata tersebut bunyi akhirnya disesuaikan agar membentuk suatu arti.

Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang

Bunyi akhir pada bait kedua “Kupu-Kupu” tersebut memilki bunyi akhir “ang”, “a”, “ang”, dan “ang”. Bunyi akhir pada larik kedua berbeda dengan dengan bunyi akhir pada larik yang lainnya. Perbedaan bunyi akhir tesebut menimbulkan kurangnya estetik atau keindahan pada pantun tersebut. Selain itu, perbedaan bunyi kahir tersebut menimbulkan arti yang sukar untu ditebak karena dirasa tidak berkesinambungan.

Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibuat pagar.
Pantun tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.

Pada bait ketiga puisi lama tersebut memilki bunyi akhir ‘i’, ‘ar’, ‘ang’, ‘ar’. Berbeda dengan bait-bait sebelumnya yang memilki kesamaan bunyi akhir pada setiap larik, antara sampiran dan isi. Pada bait ketiga tersebut memiliki bunyi akhir yang agak kacau. Larik ketiga pada bait tersebut memilki keterkaitan dengan larik ketiga pada bait kedua, sehingga isi yang terdapat pada pantun bait ketiga tersebut memilki kesinambungan dengan isi pada bait kedua. Bunyi akhir yang terdapat pada bait tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap isi yang ingin disampaikan oleh pentun tersebut, meskipun dari segi keindahan bunyi akhir sangat kurang karena tidak memiliki kesamaan pada bunyi akhir.

Burung besar terbang ke Banda,
Bulunya lagi jatuh ke pantai.
Banyak muda sudah kupandang,
Tiada sama mudaku ini.

Bunyi akhir yang tedapat pada bait ketiga puisi “Kupu-Kupu” tersebut ialah “a”, “i”, “ang”, dan “i”. Seperti halnya dengan bunyi akhir yang terdapat pada bait kedua puisi lama tersebut, pada bait ketiga puisi lama tersebut memiliki bunyi akhir yang berbeda setiap lariknya. Perbedaan bunyi akhir tersebut tampaknya mengurangi keindahan pada pantun tersebut. Perbedaan bunyi akhir dirasa mengganggu atau mempengaruhi arti yang terdapat dalam bait tersebut sehingga antara sampiran dan isi kurang sesuai atau kaurang nyambung. 

Rumpun bulu dibuat pagar,
Cempedak dikerat-kerati.
Maklum pantun tidak belajar,
Saya budak belum mengerti.

Bunyi akhir pada bait keempat yaitu ‘ar’, ‘i’, ‘ar’, ‘i’. Masing-masing bunyi akhir tesebut memilki kesamaan dengan dengan bunyi akhir tiap larik antara sampiran dengan isi. Bunyi akhir yang terdapat pada masing-masing larik pada bait tersebut menimbulkan keindahan bunyi pada bait tersebut. Bunyi akhir pada bait tersebut menimbulkan arti yang saling berkaitan.

Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.

Bunyi akhir puisi lama “Kupu-Kupu” pada bait keempat yaitu “i”. Keemapat larik tersebut memiliki kesamaan bunyi akhir, namun cara pengucapannya berbeda. Hal tersebut terlihat pada kata “pantai”. Kata “pantai” tersebut meskipun berakhiran dengan huruf “i”, namun cara pengucapannya berbeda yaitu “ai”. Namun, perbedaan tersebut tidak begitu mengurangi keindahan pada puisi lama tersebut, karena bunyi akhir setiap larik pada bait tersebut hampir mirip meskipun tdak sama persis. Perbedaan bunyi akhir pada salah satu larik pada bait tersebut, tidak begitu berpengaruh terhadap isi pantun yang ingin disampaikan.
2.      Lapis arti
Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat.

Buah ara batang dibantun
Mari dibantun dengan parang.
Hai saudara dengarlah pantun,
Pantun tidak mengata orang.

Isi yang terdapat dalam pantun tersebut adalah bahwa pantun tidak pernah mengata orang. Hal tersebut dapat dilihat dari keterikatan atau pertalian antara kata-kata yang terdapat dalam sampiran dan isi. Kata bantun yang yang terdapat dalam bait tersebut berarti “menarik supaya lepas”. Kata bantun tersebut diperkuat dengan kata parang. Parang merupakan senjata tajam. Kaitan antara kata bantun dengan parang adalah jika ingin lepas haris dibantu dengan senjata tajam yaitu parang.
Kata “bantun” pada larik pertama memiliki persamaan bunyi akhir dengan “pantun” pada larik ketiga. Kata bantun yang memilki arti menarik supaya lepas, diseimbangkan dengan kata “pantun” yang yang biasanya pantun tersebut menarik orang untuk mendengarkannya. Persamaan bunyi akhir pada kata “bantun” dan “pantun” memiliki kesamaan pada arti pula, yaitu sama-sama dugunakan untuk menarik.
Kata “parang” tersebut berkaitan dengan kara “orang”. Parang merupakan senjata tajam, dan orang pun dapat menjadi tajam dengan perkataannya. Tajamnya orang dapat diibaratkan dengan parang. Disamakan ata dipadakan dengan parang karena untuk menyamakan bunyi akhir pada pantun tersebut agar pantun menjadi indah.

Kupu-kupu terbang melintang,
Terbang di laut di hujung karang.
Hati di dalam menaruh bimbang,
Dari dahulu sampai sekarang.

Arti yang terdapat pada serangkaian kata tersebut memiliki arti yang culup luas. Pilihan kata yang digunakan untuk pantu tersebut merupakan pilihan kata yang indah sehingga menimbulkan arti yang indah pula. Arti dari serangkaian kata “terbang melintang” pada larik pertama berkaitan dengan kata “bimbang” pada larik ketiga. Terbang melintang yang terdapat pada larik pertama tersebut diibartakan sebagai orang yang sedang dalam kebimbangan sehingga ia berjalan kesana kemari tak tentu arah tujuan. Seperti halnya dengan kata “dihujung karang” dengan kata “sekarang”. Di hujung karang merupakan sebuah ungkapan yang menandakan bahwa kehidupan yang tidak pernah berakhir meskipun dalam goncangan ombak yang terus melanda hingga saat ini yang disimbolkan dengan kata “sekarang”. Lapis ati yang terdapat pada bait tersebut memiliki arti yang sangat dalam.

Mari dibantun dengan parang,
Berangan besar di dalam padi.
Pantun tidak mengata orang,
Janganlah syak di dalam hati.

Arti yang terdapat pada bait tersebut adalah mengenai kekurang percayaan terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Serangkaian kata “dibantun dengan parang” memiliki arti bahwa jika ingin melepaskan sesuatu agar lebih mudak dibantu dengan senjata tajam. Senjata tajam tersebut dianalogikan dengan perkataan orang. Perkataan orang yang sangat tajam yang biasa dilakukan tidak terjadi pada pantun. Pantun biasnya berisi “penghalus” dari setiap perbuatan atau perkataan. Jika orang mengatakan hal pedas mengenai diri sendiri atau mengkritik diri dengan kata-kata pedasnya, selayaknya kita tidak perlu “syak” di dalam hati, “Syak” yang dimaksudkan adalah rasa kurang percaya, tidak yakin, dan ragu-ragu. Kekurangpercaan tersebut diakibatkan oleh perkataan atau perbuatan orang terhadap diri kita.

Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang

Pantun tersebut memiliki arti perjuangan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya larik yang berbunyi “terbang di laut di hujung karang, dri dahulu hingga sekarang, banyak muda sudah kupandang” dari serangkaian kata tersebut telah dapat membuktikan bahwa manusia yang dianalogikan dengan seekor burung besar yang terbang ke Banda untuk mencari cinta sejatinya dari dahulu hingga sekarang, hingga ia telah merasakan banyaknya lawan jenis yang sudah ia kenal namun ia tetap dengan pendiriannya yang dibuktikan dengan adanya larik “terbang di laut di hujung karang”. Larik tersebut menadakan bahwa sebesar apapun badai atau ombak yang menimpanya ia tetap dapet terbang di ujung karang yang berarti di tempat yang cukup berbahaya.

Berangan besar di dalam padi,
Rumpun buluh dibuat pagar.
Pantun tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.

Arti yang terdapat pada bait ketiga puisi lama tersebut adalah seseorang yang pempunyai pelindung atau pengetahuan walau hanya dengan belajar perlahan. “Berangan besar di dalam padi” memilki arti yang cukup luas. Kata padi biasanya digunakan untuk orang emiliki banyak ilmu yang kian berisi kian merunduk. Angan-angan tersebut di tanam di dalam hatinya agar ketika ia menjadi sesorang berhasil ia menjadi seperti padi, yang kian berisi kian merunduk. “Rumpun buluh menjadi pagar”, serangkaian kata tersebut dapat diartikan bahwa agama yang sudah ada pada diri seseorang harus dibuat pagar untuk menjaga iman yang dimiliki seseorang karena setiap iman manusia memilki tingkatan yang berbeda. “Pantun tidak mengata orang”, arti dari rangkaian kata tersebut adalah bahwa pantun diibaratkan dengan orang yang telah mendalami ilmu padi sehingga orang yang telah memiliki banyak ilmu tdak mungkin akan mencela orang lain meskipun ilmu yang didapatkan masih jauh dari sempurna.

Burung besar terbang ke Banda,
Bulunya lagi jatuh ke pantai.
Banyak muda sudah kupandang,
Tiada sama mudaku ini.

Arti yang terdapat pada bait puisi lama tersebut adalah kerapuhan karena sudah merasa cukup usia. Perjuangan yang dilakukan tak seperti dulu ketika masih muda. “Bulunya lagi jatuh ke pantai”, rangkaian kata tersebut menandakan bahwa seseorang yang terbang ke Banda atu negeri orang demi mencari sang kekasih hati kini telah layu karena usia yang sudah cukup tua. Ketika ia muda ia telah banyak mengecap banyak kehidupan, mengarungi liku-liku kehidupan. Kini ia telah mencapai usia lanjut, perjuangannya tak seperti dahulu ketika ia masih muda. Ia mulai loyo dan mulai jatuh perlahan.

Rumpun bulu dibuat pagar,
Cempedak dikerat-kerati.
Maklum pantun tidak belajar,
Saya budak belum mengerti.

Arti yang terdapat dalam bait tersebut adalah seseorang yang memiliki iman atau pengetahuan yang cukup lembek atau kurang, sehingga harus benar-benar dijaga agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang tidak diinginkan. Cempedak merupakan nama buah seperti nangka namun memiliki daging buah yang lebih lembek daripada nangka, sehingga dapat dianalogikan dari cempedak tersebut bahwa seseorang yang memilki pengetahuan dan pengalaman yang dangkal harus dipagar seperti dalam serangkaian kata “rumpu buluh dibuat pagar”. Buluh merupakan nama lain dari bambu yang biasanya digunakan untuk dibuat pagar. Maka keimanan atau pengetahuan seseorang yang belum benar-benar kuat harus dipagari seperti pada ungkapan tersebut. Pada isi yang teradapat dalam bait tersebut mencerminkan bahwa ia bukanlah orang yang telah memiliki banyak pengetahuan atau pengalaman karena ia tidak belajar, sehingga dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.

Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.

Arti pada bait tersebut adalah adanya atau datangnya kembali penyemangat hidup yang tadinya semnagat untuk hidup telah musnah atau telah tiada. Penyemangat itu dibawa oleh orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya dan merasa iba melihat perjuanagn yang telah dilakukan. Semangat yang telah jatuh kemudian datang kembali dengan dibawa oleh orang-orang disekitarnya. Orang-orang disekitarnya pintar mebujuk hati sehingga semangat itu telah kembali meskipun tak seperti ketika ia masih muda.
3.      Lapis dunia
Lapis dunia menggambarkan dunia pengarang yang digunakan untuk mengungkapkan isi hatinya.  Lapis dunia yang digunakan pada puisi lama berjudul “Dengarlah Pantun” adalah diibaratkan dengan ilmu padi dan kehidupan nyata seseorang. Sedangkan lapis dunia yang digunakan pada “Kupu-Kupu” adalah suasana alam terbuka yang dimisalkan dengan laut dan tempat atau wilayah lain bertolak dari keseharian manusia.
Bait pertama pada puisi lama “Dengarlah Pantun” memiliki dunia bahwa manusia memilki sifat sperti parang, yang memilki perkataan yangs angat tajam. Bait kedua memilki dunia bahwa menjadi seseorang harus seperi padi yang tidak pernah menyakiti hati orang lain. Bait ketiga memiliki dunia harus saling menjaga hati sesama, meskipun ilmu yang didapatkan belum sempurna. Begitupun dengan bait keempat yang memiliki dunia bahwa seseorang yang memilki ilmu yang cukup rendah harus benar-benar dijaga agar tidak mudah dibodohi oleh orang lain.
Adapun bait pertama pada puisi lama berjudul “Kupu-Kupu” memilki dunia bahwa seseorang yang memilki kebimbangan yang tak berujung, yang dianalogikan dengan keadaan alam terbuka dengan buktu adanya burung dan laut, sehingga cakupan dunia yang pengarang gunakan tidak hanya berkutat pada dalam diri sesorang, melainkan pada dunia luar. Begitupun dengan bait kedua, ketiga, dan keempat. Ketiga bait tersebut memilki persamaan dunia yaitu sama-sama berada di sebuah kota atau wilayah tettentu yang menggambarkan alam terbuka pula.
4.       Lapis Metafisis
Lapis metafisis berupakan lapis yang menumbulkan pembaca tersebut merenungkan (berkontemplasi) isi dari setiap puisi lama yang diungkapkan.
Lapis metafisis yang terdapat pada puisi lama “Dengarlah Pantun” adalah setiap manusia hendaknya tidak saling menyakiti dan saling menjaga hati agar tidak ada hati yang tersakiti. Selain itu juga setiap manusia diharapkan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya agar tdak mudah dibodohi oleh orang lain ataupun oleh keadaan.
Lapis metafisis yang terdapat pada puisi lama yang berjudul “Kupu-Kupu” mengajak kita untuk tak pernah putus asa dalam menghadapi hidup dan selalu berjuang meskipun hingga ke negeri orang untuk mencari pengalaman hidup.

C.    SIMPULAN
Berdasarkan pada pelaksanaan pembadingan kedua puisi tersebut, persamaan kedua puisi tersebut adalah sama-sama menceritakn tentang kehidupan manusia dan perjuangan untuk hidup. Sedangkan perbedaan dari kedua puisi tersebut adalah jika puisi yang berjudul “Dengarlah Pantun” menggunakan masyarakat dalam satu wilayah yaitu menggambarkan wilayah Indonesia yang diidentikan dengan padi, sedangkan pada puisi kedua pencipta menggunakan cakupan wilayah yang lebih luas yaitu menggunakan nama-nama daerah di negara Eropa, sehingga cakupan pengungkapan wilayah pada puisi “Kupu-Kupu” lebih luas jika dibandingkan dengan puisi “dengarlah Pantun”.
Pantun dan Pantoum tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi. Di dalam ciri-ciri pantun terdapat genre pantoum sehingga antara pantun dan pantoum tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling mempengaruhi. Bahkan di dalam pembuatan pantoum cenerung mengabaikan ciri-ciri pantaoum, tetapi terdapat ciri-ciri pantun di dalam pantoum tersebut.
Secara langsung pantun berpengaruh terhadap pantoum di Perancis. Pada dasarnya, pantau merupakan tiruan atau saduran dari pantun, karena jika dilihat dari sejarah dan ciri-ciri yang terdapat di dalam pantoum, pantoum memilki ciri-ciri yang hampir sama dengan pantun, begitu pula dengan bentuk yang dimiliki oleh pantoum memiliki bentuk yang sama dengan pantun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar