

Makalah
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah kapita
selekta
Dosen Pengampu: Drs. Suprapti, M.Pd
Oleh:
Gigih
wahyu Wijayanti 2101410057
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG

PENDAHULUAN
Indonesia adalah
salah satu negara
yang multikultural terbesar
didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur
maupun geografis yang begitu beragam
dan luas. Dengan
jumlah yang ad diwilayah
NKRI sekitar kurang lebih
13.000 pulau besar
dan kecil, dan
jumlah penduduk kurang
lebih 200 juta jiwa,terdiri dari
300 suku yang
menggunakan hampir 200
bahasa yang berbeda. Selain itu
juga menganut agama
dan kepercayaan yang
beragam seperti Islam, Katholik, Kristen
protestan, hindu, budha,
konghucu, serta bnerbagai
macam kepercayaan (Diknas: 2004). Keragaman ini diakui atau tidak, akan
dapat menimbulkan berbagai macam persoalan
seperti yang sekarang
ini dihadapi bangsa
ini. Seperti korupsi,
kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan
politik, kemiskinan, kekerasan,
separatisme, perusakan
lingkunghan dan hilangnya
rasa kemanusiaan untuk
selalu menghargai hak-hak orang
lain adalah bentuk
nyata dari multikulturalisme itu.
Contoh konkrit terjadinya tragedy
pembunuhan besar-besaran tehadap
pengikut partai PKI
pada tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan
perang antara islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003.
Berdasarkan
permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme menawarkan satu
alternatif melalui penerapan
strategi dan konsep
pendidikan berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat.
Khususnya yang ada pada siswa
seperti: keragaman etnis,
budaya, bahasa ,agama,
status sosial, gender, kemampuan umur
dan ras. Walaupun
pendidikan multikultural merupakan pendidikan relatif baru di dalam
dunia pendidikan. Sebelum perang dunia
II boleh dikatakan pendidikan multikultural
belum dikenal. Malah pendidikan
dijadikan sebagai alat
politik untuk melanggengkan
kekuasaan yang memonopoli sistem
pendidikan untuk kelompok
atau golongan tertentu.
Dengan kata lain
pendidikan multikultural meupakan
gejala baru dalam
pergaulan umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk
mendapatkan pendidikan yang sama
untuk semua orang.
Dalam penerapan strategi
dan konsep pendidikan multikultural
yang terpenting dalam
strategi ini tidak
hanya bertujuan agar supaya siswa
mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan menigkatkan kesadaran
mereka agar selalu
berperilaku humanis, pluraklis
dan demokratis. Begitu juga
seorang guru tidak
hanya menguasai materi
secra professional tetapi juga
harus mamapu meneanamkan
nilai-nbilai inti dari pendidikan multicultural sepreti :
humanisme, demokratis dan pluralisme.
Wacana pendidikan
multikultural salah satu
isu yang mencuat
kepermukan di era
globalisasi seperti saat
ini mengandaikan, bahwa
pendidikan sebagai ruang tranformasi budaya
hendaknya selalu mengedepankan
wawasan multikultural, bukan monokultural.
Untuk memperbaiki kekurangan
dan kegagalan, serta memebongkar praktik-praktik
diskriminatif dalam proses pendidikan.
Sebagaimana yang masih kita
ketahui peranginya dalam
dunia pendidikan nasional
kita,bahkan
hingga
saat ini. Dalam konteks ini,
pendidikan multikultural merupakan
pendekatan progresif,
pebendekatan ini sejalan
dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam undang undang
dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003
pasal 4 ayat
1,yang berbunyi bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai agama,
nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan multikultural
juga didasarkan pada
keadilan sosial dan persamaan
hak dalam pendidikan. Dalam
doktrin islam,ada ajaran
kita tidak boleh membeda-beda etnis,
ras dan lain sebagainya. Manusia
sama, yang membedakan adalah ketaqwaan
kepada Allah SWT.
Dalam kaitanya dengan
pendidikan multikultural hal ini
mencerminkan bagaimana tingginya
penghargaan islam terhadap ilmu
pengetahuan,dalam islam tidak
ada pembedaan dan
pembatasan diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh
ilmu pengetahusn. Wajah
monokulturalisme didunia pendidikan
kita masih kentara
sekali bila kita tilik dari
berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran,
hingga metode pengajaran
yang disampaikan oleh
guru dalam proses
belajar mengajar (PBM) diruang
kelas hingga penggalan-penggalan terakhir
dari abad ke-20 sistem
penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia masih didominasi
oleh pendekatan keseragaman (Etatisme)
lengkap dengan kekuassaan
birokrasi yang ketat, bahkan
otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri akan
pendekatan yang semakin seragam dan
demokratis terus mendesak dan perlu di
implementasikan (Tilaar:2004: 24).
Pendidikan multikultural
di Indonesia perlu
mempertimbangkan kombinasi
model yang ada,
agar seperti yang
diajukan Groski (1990),
“pendidikan multicultural
dapat mencakup tiga
hal jenis tranformasi
yaitu, trnformasi diri, tranformasi sekolah
dan proses belajar
mengajar serta tranformasi
masyarakat”. Dengan
menggunakan berbagai macam
cara dan strategi
pendidikan serta
mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan
menghargai pluralisme, demokrasi
dan humanisme. Diharapkan
para generasi penerus menjadi
”Generasi Multikultural” yang
menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-nilai demokrasi,
keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.
Selain
pendidikan multicultural, pendidikan karakter juga sangat penting. Hal itu
terjadi karena masyarakat sekarang ini telah terjadi pergeseran moral dan nilai
yang signifikan dalam realita kehidupan, baik secara pribadi, masyarakat maupun
dalam kehidupan berbangsa. Hal ini terjadi disebabkan oleh berbagai factor,
diantaranya: Nilai budaya bangsa yang mulai pudar, nilai-nilai kehidupan telah
bergeser dari tatanannya, budaya malu hampir musnah pada tiap tingkatan
masyarakat, melemahnya kemandirian bangsa, dan manajemen keterbatasan perangkat,
sampai saat ini belum ada manajemen yang positif dan efektif dalam
menanggulangi persoalan bangsa yang sangat kompleks.
Sesuai
dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional pada pasal
3 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita
tahu tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. ( UU No. 20 / 2003 ).
Berdasarkan
keadaan di atas, pada makalah ini akan dibahas mengenai seluk-beluk pendidikan
multicultural dan pendidikan karakter.
ISI
I.
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
A.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN MULTIKULTURAN
Pendidikan multikultural dapat
didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demografis
dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu bahkan dunia
secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan
bukan merupakan menara gading
yang berusaha menjauhi
realitas sosial dan
budaya. Pendidikan menurutnya, harus
mampu menciptakan tatanan masyarakat
yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Istilah pendidikan multikultural dapat
digunakan, baik pada tingkat deskriptif dan normatif yang menggambarkan isu-isu
dan masalah-masalah pendidikan
yang berkaitan dengan
masyarakat multikultural.
Lebih jauh juga
mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan
strategi-strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam
konteks deskriptif, maka pendidikan
multikultural seyogyanya berisikan
tentang tema-tema mengenai toleransi, perbedaan
ethno-cultural dan agama,
bahaya diskriminasi, penyelesaian
konflik dan mediasi, hak asasi
manusia, demokratisasi, pluralitas, kemanusiaan universal, dan subjek-subje lain
yang relevan.
Pendidikan multikultural
adalah suatu pendekatan
progresif untuk melakukan
transformasi pendidikan yang secara
menyeluruh membongkar kekurangan,
kegagalan, dan praktik-praktik diskriminasi dalam proses
pendidikan. Sejalan dengan itu, Musa Asy’arie mengemukakan bahwa pendidikan
multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keragaman budaya yang
hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural,
menurut Musa Asy’arie diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa
menghadapi benturan konflik sosial.
Berkaitan dengan
kurikulum, dapat diartikan
sebagai suatu prinsip
yang menggunakan keragaman
kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan
komponen kurikulum serta lingkungan
belajar siswa sehingga
siswa dapat menggunakan
kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan,
konsep, ketrampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan. Pendidikan multikultural
merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah sebagaimana
tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
Dalam
dimensi lain, pendidikan
multikultural merupakan pengembangan kurikulum dalam aktivitas pendidikan untuk
memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi, dan perhatian terhadap
orang-orang dari etnis lain. Hal
ini berarti pendidikan
multikultural secara luas
mencakup seluruh siswa
tanpa membedakan
kelompok-kelompok, baik itu etnis, ras, budaya, strata sosial, agama, dan
gender sehingga mampu mengantarkan siswa
menjadi manusia yang toleran dan menghargai perbedaan.
B.
TUJUAN
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Tujuan-tujuan
pendidikan multikultural antara lain:
1. membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama,
budaya dan kebutuhan
2. membantu
siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya
dan nilai kepribadian
3. menjadi
medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan
budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama
secara damai
4. bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
5. untuk
menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama
dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang
berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan
ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas
sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni
budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
C.
MANFAAT
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Ada
beberapa hal yang bisa didapat dari adanya pembelajaran multikultural, antara
lain:
1. Penerapan
pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah
terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk
memahami dan menghargai keberagaman.
2. Metodologi dan strategi pembelajaran
multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat
belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa
secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses
pembelajaran berlangsung. Hal ini menjelaskan bahwa pembelajaran multikultural
sangat baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan minat belajar siswa yang
lebih tinggi.
3. Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif
sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai.
Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar siswa, serta
memperkenalkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas,
empati, musyawarah, dan egaliter kepada sesama. Para siswa pun bisa menjadi
lebih memahami kearifan lokal yang menjadi bagian dari budaya bangsa.
4. Pendidikan
multikultural membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan
budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap
warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi
penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996).
5. Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam
upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai
perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap
positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
D.
DIMENSI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Dalam sejarahnya,
pendidikan multikultural sebagai
sebuah konsep atau pemikiran yang
tidak muncul dalam
ruangan yang kosong,
namun ada interes politik, sosial,
ekonomi, dan intelektual
yang mendorong kemunculannya. (Jamaluddin: 2005:
67). James Banks
(1994) menjelaskan: bahwa
pendidikan multikultural
memiliki beberapa dimensi
yang saling berkaitan
satu dengan yang lain”, yaitu:
1. Pertama,
Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok
untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi dan
teori dalam mata pelajaran
atau disiplin ilmu.
2. Kedua, the
knowledge construction process, yaitu
membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran
(disiplin).
3. Ketiga,
an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode pengajaran dengan cara belajar
siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragambaik dari segi
ras, budaya, (culture)
ataupun sosial.
4. Keempat,
prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menentukan metode pengajaran mereka.
Pendidikan multikultural
mempunyai dimensi sebagai
berikut (Tilaar 2004) dan
(Benni:2006) :
1. “Right
to Culture” dan identitas budaya lokal. Multikulturalisme meskipun
didorong oleh pengakuan
tergadap hak asasi manusia,
namun akibat globalisasi
pengakuan tersebut diarahkan
juga kepada hak-hak yang
lain yaitu hak
akan kebudayaan (right
to culture). Lahirnya identitas
kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia, memang semuanya itu
memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya rasa kebangsaan dan
persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena apa yang disebut
budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi kita semua.
Identitas budaya makro,
yaitu budaya indonesia
yang sedang menjadi
memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses yang tanpa
ujung.
2. Kebudayaan
indonesia yang menjadi. Kebudayaan
indonesia yang menjadi
adalah suatu pegangan
dari setiap insan dan
setiap identitas budaya
mikro indonesia. Hal
tersebut merupakan suatu sistem
nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang mana perwujudannya
antara lain melalui
proses dalam pendidikan
nasional. Oleh sebab itu
ditengah-tengah maraknya identitas
kesukuan, sekaligus ditekankan sistem
nilai baru yang
akan kita wujdkan,
yaitu sistem nilai
ke indonesiaan. Hal tersebut
bukannya suatu yang
mudah karena memerlukan paradigm shift
didalam proses pendidikan
bangsa indonesia. Sebagai
suatu paradigma baru didalam
sistem pendidikan nasional,
maka perlu dirumuskan bagaimana sistem
pendidikan nasional diarahkan
kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara-bangsa yaitu
negara kesatuan republik indonesia yang
didasarkan kepada kekayaan
kebudayaan dari berbagai
suku bangsa di indonesia.
3. Konsep
pendidikan multikultural yang normatif. Kita
tidak bisa menerima
konsep pendidikan multikultural
yang deskriftif yaitu hanya
sekedar mengakakui pluralitas
budaya dari suku-suku bangsa di
indonesia. Disamping pengakuan
akan pluralitas budaya
kita juga harus mampu
mewujudkan kebudayaan indonesia
yang dimiliki oleh
suatu negara-bangsa. Adapun konsep
pendidikan multikultural normatif
adalah konsep yang dapat
kita gunakan untuk
mewujdkan cita-cita tersebut.
Untuk mewujudkan semuanya jangan
sampai konsep pendidikan
multikultural normatif
sebagai suatu paksaan
yang menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya
lokal. Akan tetapi
konsep pendidikan multikultural
normatif harus mampu memperkuat
identiatas s uatu s uku
yang kemudian dapat menyumbangkan bagi
terwujudnya suatu kebudayaan
indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa indonesia.
4. Pendidikan
multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial. Suatu rekontruksi
sosial artinya, upaya
untuk melihat kembalai kehidupan sosial
yang ada dewasa
ini. Salah satu
masalah yang timbul
akibat berkembangnya rasa kedaerahan,
identitas kesukuan, dari
perorangan maupun suatu suku
bangsa indonesia, telah
menimbulkan rasa kelompok
yang berlebihan. Ini semua
akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan
multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru. Jelas kiranya
untuk melaksanakan konsep
Pendidikan multikultural didalam masyarakat
pluralitas tapi sekaligus
diarahkan kepada terwujdnya masyarakat indonesia
baru, maka pedagogik
yang tradisional tidak
dapat kita gunakan lagi.
Pedagogik tradisional membatasi
proses pendidikan didalam ruangan sekolah
yang sarat dengan
pendidikan intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya
di indonesia menuntut
pendidikan hati (Pedagogy
of hert) yaitu diarahkan
kepada rasa persatuan
dari bangsa Indonesia
yang pluralistiks.
6. Pendidikan multikultural
bertujuan untuk mewujdukan
visi indonesia masa depan serta etika berbangsa.
E.
CIRI-CIRI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Menurut Tilaar
(2004: 59), pendidikan
multikulturalisme biasanya
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuanya membentuk”
manusia budaya” dan
menciptakan “masyarakat berbudaya
(berperadaban)”.
2. Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya demokratis,
yang menghargai aspek-aspek
perbedaan dan keberagaman budaya
bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan
pada penilaian terhadap
tingkah laku anak
didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya
lainnya.
F.
PENDEKATAN-PENDEKATAN
DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Ada
beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural antara lain sebagai
berikut.
1. Pertama, perubahan
paradigma dalam memandang
pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau
pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang
lebih luas mengenai
pendidikan sebagai transmisi
kebudayaan membebaskan pendidik dari
asumsi bahwa tanggungjawab
primer dalam mengembangkan
kompetensi kebudayaan di kalangan
peserta didik. Hal
ini semata-mata berada
di tangan mereka
dan justru seharusnya semakin
banyak pihak yang bertanggungjawab karena program-program sekolah terkait
dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
2. Kedua,
menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Yang
dimaksud adalah tidak
perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan
semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik
sebagaimana yang terjadi
selama ini. Secara
tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya
dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient daripada dengan
sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama
lain dalam satu
atau lebih kegiatan.
Dalam konteks pendidikan
multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat
mengilhami para penyusun
program-program pendidikan multikultural
untuk menghilangkan kecenderungan memandang peserta didik secara
stereotype menurut identitas etnik mereka, dan akan meningkatkan eksplorasi
pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan peserta
didik dari berbagai kelompok etnik.
3. Ketiga, karena
pengembangan kompetensi dalam
suatu kebudayaan baru
biasanya membutuhkan
interaksi inisiatif dengan
orang-orang yang sudah
memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa
upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah
antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam
kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural
tidak dapat disamakan secara logis.
4. Keempat, pendidikan
multikultural meningkatkan kompetensi
dalam beberapa kebudayaan. Adapun kebudayaan mana yang akan
diadopsi itu ditentukan oleh situasi yang ada disekitarnya.
5. Kelima, pendidikan
multikultural, baik dalam
sekolah maupun luar
sekolah meningkatkan kesadaran
tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini akan
menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan
non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya
mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran
akan multikulturalisme sebagai pengelaman moral manusia. Kesadaran ini mengandung
makna bahwa pendidikan
multikultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan
mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada
pada diri peserta didik.
G.
IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
1. Implementasi
Pendidikan Mulitikulturak di TK dan SD Kelas I,II, III
a. Mengenalkan
beragam bentuk rumah dan baju adat dari etnis yang berbeda
b. Mengajak
siswa untuk mencicipi makanan yang berbeda dari berbagai daerah secara
bergantian
c. Mendengarkan
kepada siswa lagu-lagu daerah lain
d. Menunjukkan
cara berpakaian yang berbeda baik dari suku bangsa maupun dari negara lain
e. Mengenalkan
tokoh-tokoh pejuang dari berbagai daerah dalam dan luar
f. Menunjukkan
tempat dan cara ibadah yang berbeda
g. Meminta
siswa yang berbeda etnis untuk menceritakan tentang upacara perkawinan di
keluarga luasnya
h. Mengenalkan
berbagai kosa kata yang penting yang berasal dari suku bangsa atau ras lain
i.
Mengenalkan
panggilan-panggilan untuk laki-laki da perempuan.
2. Implementasi
Pendidikan Multikultural Siswa SD Kelas IV,V,VI
a. Melengkapi
perpustakaan dengan buku-buku cerita rakyat dari berbagai daerah dan negara lain
b. Membuat
modul pendidikan multikultural untuk suplemen materi pembelajaran lain.
c. Memutarkan
CD tentang kehidupan pedesaan, di perkotaan daerah dan negara yang berbeda
d. Meminta
siswa memiliki teman korespondensi/email/facebook/ atau sahabat dengan siswa yang
berbeda daerah, negara, atau latar belakangnya
e. Guru
menceritakan pengetahuan dan pengalamannya tentang materi di daerah atau di
negara lain.
Tahap ini dilakukan
untuk menanamkan pengetahuan yang luas bagi siswa. Rasa ketertarikan akan
keragaman yang diperoleh di dalam kelas akan memotivasi siswa untuk tahu lebih
banyak dengan membaca, melihat di internet, berkunjung, bertanya pada yang
lebih tahu, dan sebagainya.
3. Implementasi
Pendidikan Multikulural pada Tingkat Lanjutan
Siswa pada jenjang ini sudah mampu
memiliki sudut pandang. Mereka mampu melihat konsep, isu, tema, dan problem
dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Pada diri mereka sudang
tertanam nilai-nilai budayanya. Jadi mereka dapat berkompetensi dan beradu
argumen serta mulai berani melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. Proses
ini dapat dilakukan dnegan cara:
a. Bila
membentuk kelompok diskusi tiap kelompok sebaiknya terdiri dari siswa yang
berbeda latar belakang ynag berbeda seperti kemampuan, jenis kelamin, perangai,
status sosial ekonomi, agama, agar mereka dapat saling belajar kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
b. Siswa
dibiasakan untuk berpendapat dan berargumentasi yang sesuai dnegan jalan
pikiran mereka. Guru tidak perlu khawatir akan terjadi konflik pendapat maupun
SARA
c. Guru
dapat mengajak siswa untuk berpendapat tentang suatu kejadian atau isu aktual,
misalnya tentang bom bunuh diri atau kemiskinan, biarkan siswa berpendapat
manurut pikirannya masing-masing.
d. Membiasakan
siswa saling membantu pada kegiatan keagamaan yang berbeda
e. Membuat
program sekolah yang mengajak siswa mengalami peristiwa langsung dalam
lingkungan yang berbeda.
f. Mengajak
siswa untuk menolong keluarga-keluarga ynag kurang beruntung ataupun berkunjung
ke tempat orang-orang malang dari berbagai latar belakang agama, etnis, ras.
g. Melatih
siswa untuk menghargai dan memiliki hal-hal yang positif dari pihak lain
h. Melatih
siswa untuk mampu menerima perbedaan, kegagalan, dan kesuksesan
i.
Memberi tugas kepada
siswa untuk mencari, memotret kehidupan nyata dan kegiatan tradisi dari etnis,
agama, wilayah, bidaya yang berbeda.
Pengalaman pembelajaran di atas
dapat melatih siswa bersikap sportif terhadap kelebihan dan kekurangan baik
dari diri snediri maupun orang lain. Siswa juga dilatih mamapu menghargai,
mengakui, dan mau mengambil hal-hal positif dari pihak lain walaupun itu dari
kelompok minoritas di kelas atau negara kita. Sehingga ada proses transformasi
dan proses akulturasi antarsiswa. Hal ini juga dapat melatih siswa menjadi
orang yang terbuka, positive thinkking dan berjiwa besar, sehingag tidak mudah
menuduh, berprasangka, dan memberi label pada kelompok lain.
H. HAMBATAN-HAMBATAN
DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Mengimplementasikan pendidikan
multikultural di sekolah
mungkin saja akan
mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal
yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain
sebagai berikut.
1.
Perbedaan
Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural. Perbedaan pemaknaan
akan menyebabkan perbedaan
dalam mengimplementasikannya.
Multikultural sering dimaknai
orang hanya sebagai
multi etnis sehingga
bila di sekolah
mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu
memberikan pendidikan multicultural pada
mereka. Padahal pengertian
pendidikan multikultural lebih
luas dari itu.
H.A.R. Tilaar mengatakan bahwa
pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis
yang berkaitan dengan
masalah budaya dan
agama, tetapi lebih
luas dari itu.
Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap
toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi,
tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa
tertentu.
2.
Munculnya Gejala
Diskontinuitas. Dalam pendidikan multikultural
yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan
kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai
budaya. Peserta didik
memiliki latar belakang
sosiokultural di masyarakatnya sangat
berbeda dengan yang
terdapat di sekolah
sehingga mereka mendapat kesulitan dalam
beradaptasi di lingkungan
sekolah. Tugas pendidikan,
khususnya sekolah cukup berat.
Di antaranya adalah
mengembangkan kemungkinan terjadinya
kontinuitas dan memeliharanya,
serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai
unsur pelaku pendidikan di
sekolah, baik itu
guru, kepala sekolah,
staf, bahkan orangtua
dan tokoh masyarakat perlu
memahami secara seksama
tentang latar belakang
sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan
kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik.
Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur
kontinuitas. Di samping itu, upaya
tersebut perlu dilakukan pula terkait dengan penciptaan konsistensi dalam
menyediakan kondisi dan situasi bagi peserta didik yang kondusif dan suportif
demi terpeliharanya kontinuitas budaya antara keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
3.
Rendahnya
Komitmen Berbagai Pihak. Pendidikan multikultural merupakan proses yang
komprehensif sehingga menuntut komitmen yang
kuat dari berbagai
komponen pendidikan di
sekolah. Hal ini
kadang sulit untuk
dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal
tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan
multikultural sangat bergantung
pada seberapa besar
keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk
melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru. Arah kebijakan
pendidikan di Indonesia
di masa mendatang
menghendaki terwujudnya
masyarakat madani, yaitu
masyarakat yang lebih
demokratis, egaliter, menghargai
nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan,
serta menghormati perbedaan.
Bila berbagai elemen
yang terlibat dalam pendidikan
menyadari akan hal ini, maka sebenarnya komitmen tinggi untuk pelaksanaan
pendidikan multikultural akan
mudah dicapai sebab
dalam pendidikan multikultural
nilai-nilai masyarakat madani itu yang ingin ditanamkan pada siswa sejak
dini.
4.
Kebijakan-kebijakan
yang Suka Akan Keseragaman. Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang
terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik
yang berwujud benda
maupun konsep-konsep. Dengan
adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung
suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang
sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku
dan tindakan orang-orang
yang ada di
dunia pendidikan tersebut
sehingga sulit menghargai
dan mengakui keragaman dan perbedaan. Oleh karena
itu, untuk pelaksanaan
pendidikan multikultural yang
sarat dengan nilai-nilai penghargaan terhadap rasa
kemanusiaan, perbedaan, dan keragaman akan menjadi kurang disukai dan kurang
dianggap penting.
II.
PENDIDIKAN
KARAKTER
A.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Secara
harfiah pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta
didik. Sedangkan budaya
diartikan keseluruhan sistem
berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan
masyarakat. Karakter merupakan
watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk
cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Oleh karena itu, Pendidikan
Karakter Bangsa disimpulkan sebagai suatu usaha sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati
nilai-nilai karakter yang
baik menjadi kepribadian mereka dalam
bergaul di masyarakat,
dan mengembangkan kehidupan
masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa
yang bermartabat.
B.
FUNGSI
PENDIDIKAN KARAKTER
Di
dalam Kebijakan Nasional tersebut (2010;4) pembangunan karakter bangsa secara
fungsional memiliki tiga fungsi utama sebagai berikut.
1. Fungsi Pembentukan
dan Pengembangan Potensi.
Pembangunan karakter bangsa berfungsi
membentuk dan mengembangkan
potensi manusia atau warga
negara Indonesia agar
berpikiran baik, berhati
baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup
Pancasila.
2. Fungsi Perbaikan
dan Penguatan. Pembangunan
karakter bangsa berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan
pemerintah untuk ikut
berpartisipasi dan bertanggung
jawab dalam pengembangan potensi
warga negara dan
pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan
sejahtera.
3. Fungsi
Penyaring. Pembangunan karakter bangsa
berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan
menyaring budaya bangsa
lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan karakter bangsa yang bermartabat.
Demikian
ditegaskan bahwa “...ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui (1) Pengukuhan
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, (2) Pengukuhan nilai dan norma
konstitusional UUD 45, (3) Penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI),
(4) Penguatan nilai-nilai
keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhinneka
Tunggal Ika, serta
(5) Penguatan keunggulan
dan daya saing bangsa
untuk keberlanjutan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara Indonesia dalam konteks global.”
C.
KEBIJAKAN
PEMERINTAH ATAS PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
Seperti dinyatakan dalam Kebijakan
Nasional Pembangunan Karakter Bangsa
(Republik Indonesia,2010:1), situasi
dan kondisi kondisi
karakter bangsa yang memprihatinkan tersebut,
mendorong pemerintah untuk
mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan
karakter bangsa. Pembangunan
karakter bangsa dijadikan arus
utama pembangunan nasional.
Hal itu mengandung
arti bahwa setiap upaya
pembangunan harus selalu
diarahkan untuk memberi
dampak positif terhadap
pengembangan karaker. Mengenai
hal tersebut secara
konstitusional sesungguhnya
sudah tecermin dari
misi pembangunan nasional
yang memosisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari
delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana
tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025
(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), yaitu “...terwujudnya
karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral
berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan
masyarakat Indonesia yang
beragam, beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi
luhur, bertoleran, bergotong
royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.” Oleh karena
itu pembangunan karakter
bangsa memiliki cakupan
dan tingkat urgensi yang sangat
luas dan bersifat multidimensional. Ditegaskan dalam Kebijakan tersebut sangat
luas karena memang secara substantif dan operasional terkait dengan “...pengembangan seluruh aspek
potensi-potensi keunggulan bangsa
dan bersifat multidimensional
karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam
proses “menjadi”.
Dalam hal ini dapat juga disebutkan
bahwa (1) karakter merupakan hal sangat
esensial dalam
berbangsa dan bernegara,
hilangnya karakter akan
menyebabkan hilangnya
generasi penerus bangsa;
(2) karakter berperan
sebagai “kemudi” dan kekuatan
sehingga bangsa ini
tidak terombang-ambing; (3)
karakter tidak datang dengan
sendirinya, tetapi harus
dibangun dan dibentuk
untuk menjadi bangsa
yang bermartabat.
Selanjutnya, ditegaskan bahwa
pembangunan karakter bangsa
harus difokuskan pada “...tiga tataran besar, yaitu (1) untuk
menumbuhkan dan memperkuat jati
diri bangsa, (2) untuk menjaga
keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan
(3) untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan
bangsa yang bermartabat.”
Di
lingkungan sekolah, dimana
sebagai lingkungan pembudayaan,
peserta didik dan guru sebagai ”perekayasa” kultur sekolah tidak
terlepas dari regulasi, kebijakan,
dan birokrasi. Kebijakan
dan birokrasi ditata
dan disiapkan untuk mendukung terwujudnya
pendidikan karakter melalui
pengembangan kultur pembelajaran dan
sekolah sebagai ekologi
peekembangan peserta didik.
Reformasi mind set pada birokrat
pendidikan di tingkat pusat maupun daerah, sehingga mampu melihat dan
memposisikan pendidikan sebagai
proses membangun karakter, membangun kultur sekolah secara
benar, dan mengubah perilaku birokrasi atas dasar pemahaman secara tepat
tentang esensi pendidikan. Reformasi
mind set ini didukung oleh
political will yang
kuat dari Pemerintah
Pusat dan Daerah,
dan memposisikan pendidikan bukan sebagai proses
birokratik dan administratif
semata yang bisa membuat
pendidikan bergeser menjadi
ranah dan beban
politik daripada sebagai layanan profesional
yang sejati. Guru
dibina menjadi penyelenggara
layanan profesional sejati.
Secara
psikologis dan sosial
kultural pembentukan karakter
dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh
potensi individu manusia
(kognitif, afektif, dan psikomotorik)
dalam konteks interaksi
sosial kultural (dalam
keluarga, satuan pendidikan, dan
masyarakat) dan berlangsung
sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual
and emotional development)
, Olah Pikir
(intellectual development),
Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan dalam diagram
Venn dengan empat lingkaran sebagai berikut (Kemdiknas,2010:10)

Sumber:
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (2010)
D.
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN KARAKTER
Nilai
|
Deskripsi
|
Religius
|
Sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
|
Jujur
|
Perilaku
yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
Toleransi
|
Sikap
dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap,
dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
|
Disiplin
|
Tindakan
yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
|
Kerja keras
|
Perilaku
yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
Kreatif
|
Berpikir
dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
|
Mandiri
|
Sikap
dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas.
|
Demokratis
|
Cara
berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya
dan orang lain.
|
Rasa ingin tahu
|
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas
dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
Semangat kebangsaan
|
Cara
berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
|
Cinta tanah air
|
Cara
berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
|
Menghargai prestasi
|
Sikap
dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
Bersahabat/komunikatif
|
Tindakan
yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang
lain.
|
Cinta damai
|
Sikap,
perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman
atas kehadiran dirinya.
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
|
Peduli lingkungan
|
Sikap
dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
|
Peduli sosial
|
Sikap
dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan.
|
Tanggung jawab
|
Sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
|
E.
IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER
Pelaksanaan
Pendidikan Karakter sebagai upaya meningkatkan kesesuaian dan mutu
pendidikan. Empat hal yang dijadikan rujukan dalam pelaksanaan Pendidikan
Karakter, yaitu:
1. Olah Hati /
Kholbu ( Spiritual And Emotional Development ) yaitu mengembangkan asset yang
berkaitan dengan nilai religi ( KeTuhanan, Hablumminalloh ) sehingga bisa
bekerja dan berbuat dengan ikhlas.
2. Olah Rasa /
Karsa ( Affective and Creativity Develomment ) yaitu mengembangkan
asset yang berhubungan dengan sesama manusia. (
Hablumminanas ), sehingga mampu menjalin cinta kasih terhadap sesama baik
secara pribadi, social maupun bermasyarakat.
3. Olah Pikir /
Dzikir ( Intellectual Development ) yaitu mengembangkan asset yang berhubungan
dengan akal, sehingga dapat berpikir dengan jernih dan cerdas.
4. Olah Raga
dan Kinestetik ( Physical and Kinestetic Development ) yaitu mengembangkan
asset fisik agar selalu sehat dan mampu bekerja dengan keras.
Dalam
pelaksanaan Pendidikan Karakter menjadi tanggung jawab semu elemen bangsa,
terutama guru sebagai pengawal garda terdepan dalam pendidikan. Pendidikan
Karakter yang diterapkan dalam satuan pendidikan menjadikan sarana pembudayaan
dan pemanusiaan ( Koesoema, 2007: 114 ) sesuai dengan subtansi utama yaitu
membangun pribadi dengan karakter mulia sebagai individu, masyarakat dan
bangsa. Menurut Foesster ada empat ciri Pendidikan Karakter, yaitu:
1. Keteraturan
interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki
nilai. Nilai menjadi pedoman normative
setiap tindakan.
2. Koherensi
yang memberi keberanian , membuat seseorang teguh pada prinsip tidak
mudah terombang ambing pada situasi baru atau takut resiko . Koherensi
merupakan dasar yang membangun rasa saling percaya satu sama lain.
3. Otonomi yang
berarti seseorang memiliki kebebasan untuk menginternalisasikan nilai – nilai
dalam mengambil keputusan pribadi tanpa intervensi orang lain.
4. Keteguhan
dan Kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mencapai sesuatu
yang dipandang baik.Sedangkan Kesetiaan merupakan bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
PENUTUP
Secara umum
tentang konsep pendidikan
dan konsep multikulturalisme di Indonesia yang diantaranya adalah:
1. Pendidikan
multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial. Spektrum kultur
masyarakat Indonesia yang
amat beragam menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan
guna mengolah perbedaan
tersebut menjadi suatu
aset, bukan sumber perpecahan.
Saat ini, pendidikan
multikultural mempunyai dua tanggung
jawab besar: menyaiapkan
bangsa Indonesia untuk
menghadapi arus budaya luar
di era globalisasi
dan menyatukan bangsa sendiri
yang terdiri dari berbagai budaya.
2. pendidikan multikultural
sebagai pembina agar sisiwa tidak
tercerabut dari akar
budayanya selain sebagai sarana
alternatif perpecahan konflik,
pendidikan multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar
mereka tidak tercerabut dari akar budaya
yang dimiliki sebelumnya
tatkal berhadapan dengan
realitas sosial dan budaya di era globalisasi.
3. sebagai landasan
pengembangan kurukulum penidikan
nasional. Dalam melakukan pengembangan
kurikulum sebagai titik
tolak dalam proses
belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu
pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan
ukuran atau tinfgakatan
tertentu, maka pendidikan multikultural sebagai
landasan pengembangan kurikulum
menjadi sangat penting.
4. menciptakan masyarakat
multikultrural. Cita-cita reformasi
untukl membangun Indonesia baru
harus dilakukan dengan
cara membangun kembali dari
hasil perombakan terhadap
keseluruhan tatanan kehidupan
yang dibangun oleh orde
baru. Inti dasri
cita-cita tersebut adalah
terwujudnya sebuah masyarakat sipil
yang demokratis, ditegakkanya
hukum untuk supremasi keadilan, pemerintah bebas KKN,
terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam kehidupan
masyarakat yang menjamin
kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang
menyejahterakan rakyat Indonesia.
Sedangkan
pada tahap implementasi
pendidikan karakter bangsa,
perlu dikembangkan pengalaman belajar
(learning experiences) dan
proses pembelajaran yang
bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik.
Proses ini dilaksanakan melalui
proses pembudayaan dan
pemberdayaan di setiap
proses pembelajaran pada setiap
mata pelajaran oleh
masing-masing guru bidang
studi. Sedangkan proses
di masyarakat, proses implementasi
pendidikan karakter bangsa
ini berlangsung dalam tiga
pilar pendidikan yakni
dalam satuan pendidikan,
keluarga, dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniati, Yati. 2012. Pentingnya Pendidikan Karakter dalam Meningkatkan Kualitas Peserta
Didik di Sekolah. Bumi http://sejjojo.blogspot.com/2012/03/makalah-pendidikan-karakter-bangsa.htmlSejarah Indonesia
diunduh talnggal 27 maret 2013.
Mania, Sitti. 2010. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran. UNJ:
Lentera Pendidikan
Arifudin, Iis. 2007. Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah.
Purwokerto : INSANIA|Vol. 12|No. 2|Mei-Ags 2007|220-233
Wahyuni,
Sri. 2012. -. Jakarta: UPI
Fathudin,
Syukri. -. Pendidikan Karakter dan Implementasinya. Yogyakarta: UNY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar