Minggu, 15 April 2012

Pendobrak Puisi `45 Oleh : Gigih Wahyu Wijayanti Kita ketahui bahwa banyak sastrawan yang mengisi lembar-lembar kesusastraan di Indonesia. Para satrawan itu mempunyai masa (periodisasi) masing-masing. Dari banyaknya pembabakan atau biasa disebut sebagai periodisasi sastra dalam bidang sastra, ada salah satu pembabakan yang menonjolkan karya yang berupa puisi atau sajak yaitu pada angkatan `45. Oleh karena itu angkatan `45 dikenal dengan angkatan puisi. Tokoh yang mempelopori angkatan puisi ini adalah sosok sastrawan yang paling individualistis dalam zamannya dan mempunyai jiwa yang keras serta usaha yang gigih untuk merengguh hidup sepuas-puasnya. Beliau memendam keinginan untuk berkuasa membentuk dunianya tanpa rasa takut dan gentar. Tokoh tersebut adalah Chairil Anwar. Chairil Anwar lahir di Medan tanggal 26 Juli 1922. Awalnya Chairil Anwar hanya berstatus sebagai mahasiswa dengan segala sifat yang dimilikinya. Namun, pada tahun 1943, tepatnya sesudah Jepang mendarat di Indonesia, Chairil Anwar mulai dikenal sebagai sastrawan. Pada masa itu Chairil Anwar yang statusnya anggota kesusastraan angkatan muda menentang kebiasaan para sastrawan sebelumnya. Beliau tidak setuju dengan kebiasaan seniman-seniman yang begitu dapat wahyu begitu pula menulisnya dan setelah selesai menganggap pekerjaanya sudah selesai. Oleh karena itu, Chairil Anwar berpendapat bahwa hasil seni pada masa itu masih dangkal, picik, dan tidak lebih sebagai angin lalu semata. Chairil Anwar adalah seorang manusia individualis dan anarkis yang tidak mempedulikan hal-hal disekitarnya kecuali kesusastraan khususnya kesenian dan kebudayaan. Bahkan intensitasnya sebagai sastrawan menimbulkan berbagai macam ketegangan dengan lingkungan hidupnya sendiri tidak terkecuali keluarganya. Sajak-sajak yang dihasilkan oleh Chairil Anwar memiliki karakter yang sangat unik diantaranya bentuk dan isi sajak-sajak itu bersifat revolusioner, sajak-sajak yang meledak-ledak, melambung keketinggian yang menggamangkan dan menerjunkan kekedalaman yang menghimpit-mengerikan (H.B Jassin,1955:152). Sosok pelopor puisi yang tergabung dalam angkatan muda pada masa itu (masa `45) menjelaskan bahwa pendiriannya tentang seni yang mengandung aliran ekspresionisme mendapatkan pengaruh dari Barat. Pengaruh Barat itu membuat suatu keanehan pada kesusastraan Indonesia. Namun sastrawan menerima pengaruh itu dengan tanggapan positif bahwa itu adalah hal yang baru. Dunia kesusastraan tidak akan menutup mata bahwasanya Chairil Anwar merupakan sosok yang memiliki peran besar dalam perkembangannya. Peranan itu sudah banyak dikupas dan dikemukakan orang dalam dunia persastraan. Chairil Anwar merupakan tokoh angkatan `45 yang berjasa dalam pembaharuan puisi Indonesia. Karena peranan yang yang sangat memberikan banyak pengaruh pada sastra masa itu lah Chairil Anwar dipuji-puji dan diagung-agungkan. Sajak-sajak Chairil Anwar mempunyai karakter berisi padat dan sering dikatakan tidak mempedulikan bentuk, melainan mengutamakan isi (Ajip Rosidi,1973:29). Chairil Anwar melalui sajak-sajaknya membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa sastra sudah cukup dewasa dan matang. Dalam sajak-sajaknya kita akan menemukan pengaruh struktur dan imajinasi bahasa sehari-hari yang lebih hidup. Pengaruh struktur dan imajinasi bahasa asing, terutama bahasa Belanda, nampak sudah berkolaborasi dengan bahasa percakapan sehari-hari. Namun, kita tidak bisa membantah bahwa pengaruh Barat itu diterjemahkan dan dimanifestasikan dalam suatu susunan bahasa Indonesia yang bersifat Indonesia. Sesuatu yang indah menjadi semakin indah ketika Chairil Anwar muncul dengan sajak-sajak dan prosa-prosanya yang membuka kakilangit-kakilangit baru bagi sastra Indonesia. Bahasa sehari-hari dengan imajinasinya yang hidup serta pilihan katanya yang plastis, dituangkannya menjadi suatu cipta sastra yang melukiskan kehidupan rohaniah manusia Indonesia modern. Sajak Chairil Anwar yang berbahasa Indonesia masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan, penempaan dan penyigian , tetapi berdasarkan dasar-dasar yang sudah diberikannya, Chairil telah membukakan perspektif dan kakilangit baru. Perspektif dan kakilangit baru itu tidak hanya untuk bahasa Indonesia melainkan untuk sastra Indonesia, untuk puisi Indonesia. Selain membuka perspektif dan kakilangit, Chairil juga menganut dan membawa paham individualism yang anarkis ke dalam kehidupan sastra Indonesia. Karena paham yang dianutnya tersebut, perjalanan karir Chairil ditentang oleh para sastrawan Indonesia yang menganut paham realisme-sosialis. Walaupun mendapat tentangan dan cibiran yang pedas, Chairil tidak menghiraukannya. Hingga pada suatu ketika tiba lah masa pendudukan Jepang membawa udara yang segar dalam kesusastraan Indonesia begitu juga udara yang segar bagi Chairil karena pada masa itu sajak-sajak yang isi dan bentuknya revolusioner sangat berkembang. Jiwa penyair dan bakat berpuisi didukung dengan kondisi negeri saat itu membuat Chairil tidak pernah lelah untuk berkarya. Puisi-puisinya pun mempunyi isi yang berbobot. Di dalam sajak dan prosanya, Chairil Anwar membawa perbandingan-perbandingan dan perkataan-perkataan yang menggali inti dan hakikat karya itu sehingga kita akan mendapatkan suatu karya satra yang memiliki isi yang padat dan tiada ruang untuk disisipi hal yang tidak perlu. Karena ketelitian dan kecerdasannya memainkan kata, sajak-sajaknya mengingatkan kepada mimpi dalam ekstase, mencekam dan mengerikan, hingga tiada kuasa kita melepaskan diri dari kenikmatan yang meremuk badan dan jiwa. Berdasarkan kenyataan yang telah terukir dalam sejarah perkembangan sastra, agaknya patut kita ingat bahwa dari sajak-sajaknya kita dapat melihat Chairil Anwar sebagai orang yang menaruh minat yang besar terhadap masalah-masalah politik. Ia sendiri dalam salah satu suratnya kepada H.B Jassin (1994) telah mengatakan bahwa kesenian dan kesusastraanlah yang menjadi pilihan hidupnya (Ajip Rosidi,1973:39). Dari sini kita melihat bahwa sosok Chairil Anwar tidak menerjunkan diri dalam dunia politik. Pilihan hidupnya untuk tidak terjun dalam politik sangat beliau pegang dengan erat hingga akhir hayatnya. Pilihan untuk tidak menjadi politikus bukan berarti Chairil acuh tak acuh dengan politik. Hal itu terlihat jelas pada sajaknya `diponegoro` dan `persetujuan dengan Bung Karno` yang sedikit kerkutip dibawah ini. “Ajo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin djandji Aku sudah tjukup lama dengar bitjaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu…. (Ajip Rosidi,1973:40) Rangkaian kata yang ada pada sajak-sajak itu menunjukkan bahwa Chairil seorang penyair yang mengerti dan menguasai masalah-masalah politik. Artinya, beliau bukanlah penyair yang merasa puas hanya dengan menulis sajak-sajak mandi sinar purnama atau merindukan kekasih yang jauh di mata. Beliau seorang yang tahu hubungan dirinya sebagai anak bangsa dengan tanah airnya beserta persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dalam melukiskan dan menyerukan jeritan-jeritan jiwanya, sosok Chairil Anwar memandang bahwa bahasa bukan suatu hal yang terpenting layaknya logam berharga dalam tangan pandai emas, ditempat bagus-bagus, tapi laksana batu gunung yang keras berpinggir tajam. Berlatar belakang budaya dan politik sebagai mana tergambar di atas, Chairil Anwar mau membuat perhitungan habis-habisan dengan tradisi dan kesenian dalam kehidupan bermasyarakat. Namun ternyata tradisi lebih kuat dari padanya. Hal itu terlihat dari caranya berkarya yang kadang-kadang kembali pada tradisi, tapi tentu saja lebih kaya dan lebih berisi dari semula. Hal inilah yang membuat sosok Chairil beda dengan sastrawan yang lain. Satu hal lagi yang membedakan Chairil dengan yang lainnya yaitu sajak Chairil Anwar jelas nyata lain dari segala macam bentuk sajak yang pernah ada dalam persajakan Indonesia. Bukan hanya berbeda dalam bentuknya, namun terlihat jelas perbedaannya pada isinya dan loncatan pikiran serta suasana perasaannya. Dalam sajak-sajak Chairil Anwar mengandung aliran expressionisme. Expressionisme merupakan satu macam aliran kesenian yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan keinsafan. Dalam expressionism pikiran dan keinsafan masih sangat dekat dengan perasaan dengan jiwa asal yang dilontarkan dalam hasil ciptaan. Jadi, hasil karya itu bukan sebagai lukisan kesan dari jiwa, melainkan teriakan jiwa itu sendiri. Berdasarkan teori tentang expressionisme dan hasil karya yang telah lahir, sajak Chairil Anwar tergolong sajak expressionisme yang murni. Hampir syarat-syarat expressionisme ada dalamnya. Banyak hal yang telah mengiasi perjalanan karya Chairil Anwar, banyak pula suatu kejadian yang membuat beliau disegani orang ataupun sebaliknya. Selama hidupnya hingga sepeninggalnya, bermacam-macam pendapat dan penilaian yang ditujukan kepadanya. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Alasan pro dan kontra tersebut dilatar belakangi oleh cara hidupnya, pandangan hidupnya, visi keseniannya, dan hasil keseniannya. Jika kita berpikir lebih dalam dan jauh ke belakang mengenang dobrakan sosok Chairil Anwar, kemudian kita kembalikan pikiran itu ke masa depan, kita akan mendapatkan pemikiran bahwa tindakan yang dilakukan oleh Chairil Anwar adalah suatu dobrakan yang memiliki manfaat besar di kancah sastra Indonesia terutama sastra jenis puisi. Kenapa tidak? Kerena sosok Chairil Anwar tidak setengah-setengah dalam melakukan pendobrakan terhadap sastra puisi. Beliau berani dan konsisten dengan apa yang beliau pikirkan. Sehingga muncullah sastra puisi yang seperti sekarang ini, bebas tanpa ada syarat yang mengikat. Jika kita lihat kenyataan semacam itu, tidak salah jika banyak orang yang pro terhadap Chairil Anwar. Hasil dari pendobrakan yang dibilang anarkis itu benar-benar nyata dan mengalami perkembangan sampai masa kini. Dan kita pun sebenarnya harus pro dengan apa yang telah dilakukan oleh Chairil Anwar karena sesungguhnya karya sastra itu termasuk karya seni, dan karya seni itu sifatnya bebas. Dengan kebebasan itu pun penikmat karya seni (puisi) akan bebas memaknai karya itu sesuai dengan pengalaman dan pegetahuan yang dimiliki oleh penikmat. Jadi, hampir semua karya seni menganut paham kebebasan tidak terkecuali puisi. Atas jasa Chairil, kita bebas membuat puisi sesuka kita dan kita pun bebas memaknai karya puisi sesuai kemampuan dan pengalaman kita tanpa harus ada batasan atau kekangan. Semakin banyak persepsi atau pemaknaan terhadap suatu karya seni, maka karya itu dinilai semakin bagus. Keberagaman semacam itulah yang menimbulkan keindahan. Sesungguhnya itulah yang disebut sebagai seni. Daftar Pustaka Rosidi, Ajib.1970. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia. Bandung:Pustaka Jaya Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Gramedia Jassin, H.B. 1955. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Djakarta: Gunung Agung

2 komentar: