BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
ilmu budaya kita mengenal beberapa teori antara lain: evolusionisme,
fungsionalisme, strukturalisme, simbolisme, materialisme dan orientalisme,
kemudian postmodernisme. Dari teori-teori tersebut diadaptasi dalam konsep
kebudayaan. Perkembangan dan perjalanan dari masing-masing teori tersebut di
atas sesuai dengan zamannya di kala itu, baik dari keadaan masyarakatnya maupun
pengaruh dari tokoh-tokoh pencetusnya.
Berdasarkan
hal tersebut, dalam makalah ini membahas mengenai “Materialisme dan
Orientalisme”. Pembahasan akan dikupas dalam Bab III ISI, yaitu pengertian materialisme,
materialisme kebudayaan, kekurangan dan kelebihan materialisme, sejarah
orientalisme, pengertian orientalisme, dan wujud pergerakan orientalisme.
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1) Apakah
definisi atau pengertian dari materialisme?
2) Apakah
yang dimaksud dengan materialisme kebudayaan?
3) Apa
sajakah kekurangan dan kelebihan materialisme?
4) Bagaimanakah
sejarah orientalisme?
5) Apakah
definisi atau pengertian dari orientalisme?
6) Apakah
wujud pergerakan orientalisme?
1.3.
Tujuan
1) Mengetahui
dan mengerti definisi atau pengertian dari materialisme.
2) Mengetahui
dan mengerti apakah yang dimaksud materialisme kebudayaan.
3) Mengetahui
kekurangan dan kelebihan materialisme.
4) Mengetahui
dan mengerti sejarah orientalisme.
5) Mengetahui
dan mengerti definisi atau pengertian dari orientalisme.
6) Mengetahui
wujud pergerakan orientalisme.
BAB
II
ISI
2.1.
Definisi
atau Pengertian Materialisme
Materialisme
adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah
hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia
sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata
sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi).
Materialisme
menekankan pada cinta kebendaan karena kehidupan spiritual tidak lagi penting.
Orang-orang yang menganut paham materialisme ini tidak mampu memahami apalagi
menghayati sesuatu yang bukan benda sifatnya seperti perasaan saling membantu, kasih
dan maaf. Materialisme bersumber dari filsafat Yunani klasik yang dipelopori
oleh Democritus dan Leucippus. Kedua filosof Yunani klasik ini menekankan bahwa
alam semesta ini terdiri atas hanya atom. Setelah alirn Yunani klasik tersebut
mengenai materilisme lahir, berbagai gagasan berkembang yang pada dasarnya
menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah bendawi sifatnya. Bahkan,
seperti telah diuraikan terdahulu, Thomas Hobbes pada abad ke 17 mengutarakan
bahwa perasaan juga disebabkan oleh pergerakan zat dalam otak.
Dari
definisi materialisme itu jelaslah bahwa benda adalah segala-galanya. Lambat
laun, materialisme menjadi aliran yang menekankan pemujaan pada kebendaan atau
kemakmuran. Bagi yang menganut paham ini yang penting adalah kemampuan individu
dan kebebasannya meraih harta menurut dalilnya sendiri-apakah caranya halal
atau haram tidak penting lagi. Inilah salah satu dampak yang buruk dari dunia
Barat yang sulit dielakkan oleh sebagian besar masyarakat pengusaha di tanah
air. Dalam era globalisasi, kelihatannya penyakit-penyakit masyarakat di
negara-negara maju sebagai hasil dari materialisme, Hedonisme, dan sekulerisme
itu juga menerobos ke tanah air. Bahkan ada teknokrat di zaman Orde Baru yang
mengatakan Mekkah adalah pusat tourisme yang terbear di dunia yang menghasilkan
masukan negara terbesar. Teknokrat tersebut melihat ibadah haji hanya dari segi
materi saja. Ia menyamakan Jemaah haji dengan turis ke Mekkah karena ia
dipengaruhi oleh paham sekulerisme; kehidupan spiritualisme tdak penting
baginya.
Zaman
Orde Baru, dengan konsep dasar para kaum elitis atau teknokrat dalam
pembangunan bangsa ini yang menekankan sekulerisme dan materialisme,
manusia-manusia unggul dalam dunia usaha karena unsur-unsur KKN muncul.
Pendewaan kekayaan merajarela. Penumpukan kekayaanpun subur. Orang-orang yang
memiliki uang bermilyar-milyar bahkan bertriliyun-triliyun menjelma dalam diri
pengusaha raksasa. Tidak sedikit orang-orang kaya memiliki rumah di luar negeri
khususnya di Amerika Serikat dan Inggris. Itulah orang-orang yang mengandalkan
kemampuan manusia. Mereka tidak merasa bersalah menumpuk kekayaan di tengah
kemiskinan karena mereka merasa bukan menipu; mereka hanya menggunakan
kecerdasan (human power) mereka mencari untung dan kekayaan sebanyak mungkin.
Kalau
kita lihat apa yang terjadi di zaman Orde Baru, maka dalil keunggulan manusia
tersebut di atas tidak dapat menghapus kebatilan, bahkan ia menghasilkan
kebatilan dalam bentuk demoralisasi. Mungkin karena unsur “human power” dan
unsur yang menyampingkan faktor Ketuhanan yang mengakibatkan demoralisasi pada
zaman Orde Baru walaupun sesungguhnya kehidupan beragama, seperti dikemukakan
terdahulu, dapat dikatakan semarak. Namun, karena derasnya arus globalisasi,
pendewaan atas kesejahteraan dan harta mengalahkan norma-norma agama.
Jadi,
zaman Orde Baru terjadi semacam juksteposisi atau kesejajaran antara kebaikan
dan kebatilan yang akhirnya dimenangkan oleh kebatilan. Beberapa pengamat,
antara lain, Dr. Sayuti Hasibuan menelaah bahwa zaman Orde Baru mencerminkan
bentuk-bentuk negatif dari globalisasi dalam artian masyarakat telah
berTuhankan pada kemakmuran. Hal ini, tejadi karena, antara lain, agama itu
adalah milik ribadi sifatnya. Nilai-nilai agama tidak mempengaruhi kehidupan
publik.
Materialisme
adalah suatu cara pandang yang real terhadap dunia alam raya yang bersifat
materi atau kebendaan. Dalam banyak hal materialisme lebih mampu menjelaskan
fenomena cara pandang dunia dibanding paham idealisme yang diturunkan secara
turun temurun. Materialisme adalah cara pandang abstraksi kebendaan yang ada di
luar yang disebut matter dan yang ada di dalam memori otak yang disebut idea.
Filsafat ini menegaskan bahwa pemikiran manusia berasal dari abstraksi
materialnya. Sebagai contoh sederhana jika seorang anak yang tubuh materialnya
bertinggi 150 cm dan ingin bermain basket dengan baik maka si anak itu akan
berpikir untuk melatih meloncat lebih tinggi untuk bisa bersaing, namun bila
tubuh material si anak itu bertinggi 180 cm anak itu tidak akan kerepotan
berlatih meloncat untuk bisa bermain basket dengan baik. Dengan demikian
filsafat ini adalah materi mendahului ide atau pikiran. Dengan adanya fakta
materi terlebih dahulu baru anda bisa berpikir atau mempunyai ide.
Pada
titik ini materialisme hanya sebagai ideologi, atau pengertian atau kerangka
berpikir kaum materialis. Sedangkan jika materialisme ditarik kepada konteks
kebudayaan akan menjadi sangat kompleks, terutama perangkat kebudayaan yang
tidak hanya dihasilkan dari sebuah benda atau peninggalan saja.
“Ontologi
kebudayaan mengandaikan adanya tiga lapis kebudayaan, yaitu ideofakt,
sosiofakt, dan artefakt. Ideofakt adalah ide dan nilai-nilai yang dianut suatu
masyarakat, yang kemudian dikonkretkan secara sosial menjadi perilaku,
konvensi, dan tradisi sebagai sosiofakt, dan selanjutnya dimaterialisasikan
dalam artefakt sebagai produk material kebudayaan. Sementara itu, ada 7 elemen
kebudayaan yang masing-masing mengandung ideofakt, sosiofakt, dan artifakt
tersebut. Yaitu, bahasa, religi, seni, pengetahuan, organisasi sosial,
kekerabatan, dan ekonomi………Artefakt inilah yang kemudian disebuat kebudayaan
materi (material culture), sementara dasar-dasar teoritis dan prinsip-prinsip
epistemologisnya disebut materialisme budaya (cultural materialism)…………” Jamal
D. Rahman.
2.2.
Materialisme
Kebudayaan
Materialisme
berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran-pikiran yang
dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari
kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan
lingkungannya, oleh Marvin Harris, disebut variabel yang bersifat empiris dan
ini diistilahkan dengan tekno-ekonomi dan tekno-lingkungan. Kebudayaan bukanlah
hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan
subyektifitas, tetapi bersifat material, dapat jelas dan dapat diukur.
Dalam
kaitan ini, kebudayaan didefinisikan sebagai kumpulan dari pikiran-pikiran yang
dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari
kelompok-kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika.
2.3.
Kekurangan
dan Kelebihan Materialisme
Ada
pendapat dari salah satu tokoh yang menyatakan bahwa teori-teori dalam
materialisme kebudayaan tidak operasional sehingga teri-teori tersebut tidak
dapat diuji. Materialisme kebudayaan dengan pendekatan perilaku emik dianggap
hanya cocok untuk menganalisis masyarakat berburu dan meramu. Materialisme
kebudayaan terlalu mekanis dan deterministik, karena hanya memusatkan perhatian
pada faktor-faktor teknologi dan lingkungan, sehingga menganggap bahwa individu
tidak memainkan peran dalam proses sosiokultural.
2.4.
Sejarah
Orientalisme
Orientalisme
berasal dari bahasa latin, oriens yang berarti terbit atau hampir sama dengan
bahasa Yunani he-oros yang berarti
matahari terbit. Pengambilan istilah ini didasari pada fakta matahari yang
terbit dari timur dan kemudian istilah ini melekat pada fakta-fakta atau
mengungkap wacana tentang ketimuran. Sejarah tentang orientalisme sangatlah
panjang. Pada tahun 1151 ada lukisan-lukisan anonim yang mengambil latar timur
dan kemudian dikategorikan sebagai lukisan orientalisme dan kemudian menjadi
koleksi eugene delacroix di museum
Louvre Paris Perancis dengan judul The
Reception of The Ambassador in Damascus. Fakta ini menggambarkan tentang
timur sebagai objek kajian bagi barat.
Dalam
suatu kunjungan ke Beirut selama perang saudara seorang wartawan Perancis
melakukan kunjungan, dengan subjektifitas mutlak wartawan itu menulis tentang
daerah pusat perdagangan yang porak poranda. Daerah ini digambarkan sebagai
daerah tempat kisah-kisah timur (orient) nya Chateaubriand dan Nerval. Said
(1978:1) berpendapat bahwa deskripsi tempat yang dilakukan oleh wartawan
tersebut adalah benar dalam arti masyarakat mereka dan sejauh menyangkut
kepentingan wartawan dan pembaca Perancisnya. Cara pandang ini memberikan
sebuah alibi bahwa dalam orientalisme ada perbedaan cara pandang terhadap timur
yaitu Eropa dan Amerika. Bagi orang-orang Amerika timur diartikan sebagai timur
jauh, khususnya China dan Jepang. Sedangkan bagi orang-orang Perancis dan
Inggris dan dalam kadar yang lebih rendah juga orang-orang Jerman, Spanyol,
Portugal, Rusia dan Italia telah mempunyai tradisi yang sudah berumur lama dan
mereka katakan orientalisme. Tradisi ini merupakan suatu cara memahami dunia
timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat
(Eropa). Bagi mereka timur bukan hanya dekat, ia juga merupakan koloni-koloni
eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua, sumber peradaban-peradaban dan
bahasa-bahasanya, saingan budayanya, dan salah satu imajinasinya yang paling
dalam dan paling sering muncul sebagai dunia yang lain (Said, 1978:2 dalam
Pengantar Ilmu Budaya hal. 128).
Dengan
bertitik tolak pada abad ke 18, perjalanan pengertian orientalisme terus
berkembang. Menurut Said (1978:4) menganggap orientalisme sebagai gaya barat
untuk mendominasi, menata kembali dan menguasai
Timur. Orientalisme secara sepihak menentukan apa yang dapat dikatakan
tentang dunia timur dan merupakan jaringan kepentingan-kepentingan yang tidak
terhindarkan dimana dunia timur menjadi pokok pembicaraan.
2.5.
Definisi
atau Pengertian Orientalisme
Paling
tidak ada tiga istilah yang berkaitan dengan orientalisme. Ketiga istilah itu
adalah:
1.
Orient. Orient berarti wilayah timur, bangsa Timur atau kebudayaan Timur. Kata
ini berlawanan dengan istilah Occident yang artinya barat, bangsa Barat atau
kebudayaan Barat.
2.
Orientalist. Orientalis adalah pada sarjana atau ahli tentang ketimuran. Mereka
ini mempelajari budaya ketimuran. Mereka terdiri dari filolog, sosiolog,
antropolog, linguism saitist dan juga teolog. Awalnya adalah studi ilmiah yang
bersifat obtektif dan akademis. Namun sulitnya tujuan mulia itu kemudian
diboncengi dengan kepentingan yang tidak baik misalnya kapitalisme yang muaraya
menjadi kolonialisme.
3.
Orientalism. Kata ini berasal dari kata Orient (timur) dan isme (paham). Jadi
orientalisme adalah ideologi atau paham ketimuran. Dari pengertian itulah maka
orientalisme mempunyai banyak pengertian.
Pengertian
secara umum yang didefinisinya dibatasi oleh kata tersebut yaitu metode
berpikir pola ala Barat. Metode ini menjadi landasan untuk menilai dan
memperlakukan segala sesuatu bahwa ada perbedaan yang fundamental antara Barat
dan bukan Barat dalam segala hal. Yang pertama merasa lebih unggul dalam
masalah ras dan peradaban dibanding yang lain. Orientalisme merupakan studi
akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis
mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya. Ini bermula dari anggapan orang
Barat yang merasa bahwa ras dan peradabannya lebih tinggi dari bangsa Timur.
Tujuannya untuk menciptakan kostruksi sosial dunia Timur sebagaimana
dikehendaki bangsa Barat. Bangsa Barat ingin merasa berada di negerinya sendiri
ketika berada di Timur. Oleh karena itu dibangun dan diciptakanlah suasana
seperti di barat, sehingga mereka merasa nyaman. Bagi mereka timur adalah
sesuatu yang eksotis, sesuatu yang aneh yang berlainan dengan mereka (barat).
Mereka tak ingin timur menjadi barat. Timur haruslah tetap menjadi timur,
bahkan harus digali akar- akar tradisionalnya sehingga akan kelihatan aneh,
berbeda dan eksotik. Inilah yang diinginkan oleh barat. Mereka lalu
mengangkatnya dengan dalih kegiatan tourisme yang muaranya selain untuk
pleasure juga kapital. Yang mereka inginkan adalah timur tetap menjadi timur,
namun harus sesuai dengan apa yang diinginkan barat. Istilah Paris van Jawa
untuk Kota Bandung misalnya, atau tulisan Kuntowijoyo tentang Solo yang
diciptakan sebagai tempat yang menyenangkan bagi orang Belanda adalah
contohnya. Mereka sendiri tak ingin tinggal di timur.
Tujuan
lain adalah ingin membuat studi tentang dunia timur yang hasil penelitiannya
dapat digunakan untuk meningkatkan status dan karier bangsa Barat. Mereka
menguasai bangsa timur demi menunjang kepentingan barat. Mereka menyadari bahwa
di negerinya bangsa sendiri sangat terbatas kesempatan untuk berkarier. Sumber
daya alam negerinya terbatas, itulah makanya mereka kemudian mengadakan
ekplorasi. Sulitnya aktivitas ini mereka lakukan dengan bersembunyi di balik
tipu daya yang memperlihatkan seolah- olah sebagai kajian ilmiah yang obyektif.
Ketika
orang mulai menyadari sesuatu yang dominan maka orientalisme ini digunakan
untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi ideologi Barat. pengertian lanjut
inilah yang dipakai oleh para akademisi baik Barat dan Timur dari hegemoni
Barat. Mereka sadar bahwa antara Timur dan Barat adalah sama- sama mempunyai
peran dalam rangka tampil diri sesuai kondisi yang dipunyai. Mereka juga
mendekontruksi tatanan yang sudah established yang diciptakan oleh kekuasaan
yang bercokol. Keadaan ini misalnya kelihatan pada tulisan- tulisan Edward
Said.
Orientalisme
dalam diri orang barat adalah kesediaan orang Eropa melemparkan opini mengenai
hilangnya timur pada masyarakat padahal orang timur sendiri masih ada dan
hidup. Bagi Barat, Timur merupakan produk orientalisme. Orientalisme itu
sendiri merupakan tradisi pemahaman yang sudah berumur lama yang hidup
dikalangan bangsa Eropa. Dalam hal ini Said (1978:1-4) memahami orientalisme
sebagai berikut:
1. Orientalisme
merupakan suatu cara untuk memahami dunia timur berdasarkan tempatnya yang
khusus dalam pengalaman manusia barat Eropa. Dalam hal ini timur merupakan
wilayah yang menjadi sumber imajinasi orang Eropa dan menjadi bagian integral
dari peradaban dan kebudayaan material Eropa.
2. Aktifitas
akademis yang mengarahkan perhatiannya pada timur dengan segala otoritasnya.
Orientalisme dapat pula diartikan sebagai suatu gaya berpikir yang berdasarkan
pada pembedaan ontologis (berdasarkan karakter manusia) dan epis temologis yang
dibuat antara timur dengan barat. Dengan demikian orientalisme mencakup
sekaligus penyair, novelis, filosof, teoretikus politik, ekonom, dan bahkan
para administrator negara, yang menerima pembedaan diatas sebagai titik tolak
untuk menyusun teori, epik, novel, deskripsi sosial dan sebagainya.
3. Secara
historis dan materia, orientalisme dapat pula diartikan sebagai sebuah wacana
dalam pengertian Foucoult. Dalam pengertian demikian, orientalisme dapat
dianalisis dan dibahas sebagai lembaga hukum untuk berurusan dengan dunia
timur. Dengan kata lain, orientalisme pada dasarnya adalah gaya barat untuk
mendominasi, menata kembali, dan menguasai Timur. Karena itu, orientalisme
menjadi keseluruhan jaringan kepentingan yang secara tak terhindarkan berkaitan
dengan setiap perbincangan mengenai Timur.
2.6.
Pergerakan
Orientalisme
Beberapa
hal berikut merupakan salah satu cara memahami pergerakan orientalisme sebagai
poros legitimasi oleh barat terhadap timur (menurut Edward Said dalam Pengantar
Ilmu Budaya hal. 131-132).
1. Orientalisme
mempunyai koherensi internal yang di dalamnya segala pernyataan yang dibuat
mengenai Timur dapat dikaitkan kembali dengannya.
2. Ide-ide,
budaya-budaya, dan sejarah-sejarah tidak dapat dipelajari tanpa mempelajari
juga kekuatan, atau lebih tepatnya konfigurasi-konfigurasi kekuatannya. Timur
sebagai bangsa yang hampir musnah dan tidak berperadapan, menurut deskripsi
Barat, selayaknya mendapat pelajaran dari barat. Ini adalah salah satu titik
permasalahannya.
3. Orientalisme
yang bukan fantasi kosong yang merupakan teori yang sengaja diciptakan, yang
sepanjang banyak generasi telah menerima timbunan investasi material yang
sangat besar, kemudian menjadi modal besar yang terkuasai oleh semua bentuk
tindakannya.
4. Dalam
konteks konfigurasi kekuasaan ini, teori Gramsci mengenai masyarakat politik
dan masyarakat sipil, dominasi dan hegemoni, dapat menjadi alat analisis yang
penting.
Menurut Said ( Orientalisme:1978) memadukan
wilayah yang sangat luas dan cukup mendetail, dan karena bahan yang diteliti
amat luas dan beragam tersebut, meliputi berbagai pandangan abstrak mengenai
timur dan juga karya-karya individual seperti novelis dan sejenisnya sehingga
dapat terjadi distorsi dan ketidakpastian dalam penentuan objek. Dalam hal ini
Said mencoba mengatasi dengan mengemukakan tiga aspek kekinian dirinya:
1. Pengetahuan
murni dan pengetahuan politis. Ilmu budaya, karya-karya budaya dan ilmu
pengetahuan dipandang netral secara politik. Tapi Said tidak lagi percaya pada
hal itu ada pertalian yang erat dengan politik. Orientalisme menurutnya lebih
merupakan penyebaran kesadaran-kesadaran geopolitis ke dalam naskah-naskah
estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi. Orientalisme
adalah rincian atas perbedaan geografis yang pokok (dunia barat dan dunia timur
yang tidak sederajat) tetapi juga pembagian atas seluruh rangkaian kepentingan
yang ada.
2. Masalah
Metodologis. Persoalan pertama bagi Said adalah persoalan pembatasan masalah
dan bahan karena bahan orientalisme sangat banyak dan beragam. Untuk mengatasi
hal itu, ia memberikan pembatasan pertama pada problematika yang ingin dibahas,
yaitu gagasan Eropa tentang dunia timur. Pembatasan kedua adalah pengalaman Inggris,
Perancis, dan Amerika mengenai dunia Arab dan Islam.
3. Pembatasan
pada penulisan yang tidak sekadar naratif, deskriptif, dan ensiklopedik,
melainkan pengaruh politis dan ideologis atau imperialisme terhadap gagasan
mengenai Timur itu. Permasalahan yang kedua adalah persoalan peralatan
metodologis yang digunakan dalam diskripsi dan analisis.
Bagi
Said, pemahaman mengenai orientalisme yang dilakukannya tidak pernah terlepas dari dirinya sendiri sebagai orang Timur yang
tinggal di Amerika. Baginya, kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang
menciptakan “manusia Timur” dan dalam arti tertentu melenyapkannya sebagai
manusia, bukanlah masalah yang semata-mata bersifat akademis. Sebagai orang
Timur yang tinggal di Amerika, persoalan itu baginya adalah juga persoalan
politis dan psikologis.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
Materialisme
menekankan pada cinta kebendaan karena kehidupan spiritual tidak lagi penting.
Orang-orang yang menganut paham materialisme ini tidak mampu memahami apalagi
menghayati sesuatu yang bukan benda sifatnya seperti perasaan saling membantu, kasih
dan maaf.
Orientalisme
merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara
imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya. Ini bermula dari
anggapan orang Barat yang merasa bahwa ras dan peradabannya lebih tinggi dari
bangsa Timur. Tujuannya untuk menciptakan kostruksi sosial dunia Timur
sebagaimana dikehendaki bangsa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Sztompka, Piotr.2007.Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Media Group
Rangkuti, Sofia,Hasibuan.2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat
Saifuddin, Achmad Fedyani.2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta:
Kencana Media Group
Mujianto, Yan, dkk.2010. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta:
Pelangi Publishing
Elmubarok, Zaim,dkk.2009. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta:
Pelangi Publishing
http://mediaseni.multiply.com/journal/item/9?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem diunduh sabtu, 3 Desember 2011 pukul
15.15
http://jamaldrahman.wordpress.com/2008/11/03/kebudayaan-materi-dan-materialisme-budaya-beberapa-prinsip-epistemologis/ diunduh sabtu, 3 Desember 2011 pukul
15.17
http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/21/masyarakat-materialis-di-tengah-kebudayaan-urban/ diunduh sabtu, 3 Desember 2011 pukul
15.21
http://efrahman.wordpress.com/2008/11/20/materialisme-budaya-marvin-harris-review/ diunduh sabtu, 3 Desember 2011 pukul
15.24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar